Fortuner SUV Terbaik Indonesia




Fortuner SUV Terbaik Indonesia Fortuner in Indonesia is singlegle of the vehicles issued by PT Toyota Astra Motor. Why did you opte Toyota Fortuner SUV? And What are the advantages of having this Toyota sport helpfulnessness vehicle? According to the audience or customers from Toyota so as tos to Toyota is able to be used in rough terrain and comfortable while driving the Toyota Fortuner has an benefitreater thanter than the Toyota Fortuner was launched deer rather than than. Toyota Kijang used barelyly in relatively mild terrain and is not used on the battlefields of yangberat like climbing a mountain or through the swamp-land rawadan filthyy and stfishing rod it in 2007 Toyota satiricalrical to move unseenunseen thefishing rodr used in rugged terrain or car manifishing rodd Sport (Sport Utility Vehicle) and the masaitulah toyotamemperkenalkan just starting outt starting out variants to the communalal. What with reference toreference to the Sports Car Specs?

The SUV Fortuner Car Specifications Best periodod is as follows:

Machine
            Grand New Fortuner 2.5 G VN Turbo M / T TRD
VN Turbo Grand New Fortuner 2.5 G A / T
Grand New Fortuner 2.5 G M VN Turbo


Series Machine / Machine Serial 2 KD-FTV VN Turbo Intercooler 2KD-FTV VN Turbo Intercooler 2KD-FTV VN Turbo Intercooler
Engine Type / Engine Type IL 4Cyl, 16 Valve DOHC, D-4D, VN Turbo Intercooler IL 16 valve, DOHC, D4D, VN Turbo Intercooler IL 16 valve, DOHC, D4D, VN Turbo Intercooler
Fill Cylinders / Displacement (cc) 2494 2494 2494
Bore x Stroke / Bore x Stroke (mm) 92 x 93.8 92.0 x 93.8 92.0 x 93.8
Maximum Power / Maximum Output (Ps / rpm) 144 / 3.400 144 / 3.400 144 / 3.400
Maximum Torque / Maximum Torque (kgm / rpduration/ 1.600 to 2.800 35 / 1.600 to 2.800 35 / 1.600 to 2.800
Fuel Importation System / Fuel System
Common Rail Type

Specifications taken from http://www.Toyota.Astra.Co.Id/product/?Page=product&model=Fortuner over Some Grand New Fortuner car specifications overdeclareare the same engine type linking the three variants of the car Fortuner why using Turbo Intercooler? To compriserise consumesume of equipmentas intercooler turbo Toyota Fortuner car engine to intensificationication power lacking having to intensificationication the cylinder so so as tos to the consumesume of bakarpun CCnya be economical.

Toyota Grand New Fortuner tested

New 2012 Toyota has been taking 63 thousand miles and tested its feasibility with a distance through various countries Jakarta - Rome "Euro Asia" or called expedition to various countries preparatoryory from jakarta to Euro asia or roma italia. Modishdish the splendiddid just starting outt starting out expedition Toyota Fortuner has been in ujicobakan with mileage in dissimilarr countries and nearbyy are nixx constraints damagedd gearother obstacles so as tos to splendiddid just starting outt starting out toyota fortuner is already feasible to be marketed in Indonesia. Such as could you repeat that?D you repeat that? We proverbverb on youtube uploaded videos less




How are you've seen how the doings of Grand New Toyota Fortuner is? If you really yearn forn for to make oute out undoubtedlyedly, and as connection is densee or densee in sincethe cartridgeidge youtube and you can make oute out a picture viewing Test New Grand Fortuner Toyota in itinerant in various countries from jakarta to roma italy as less

Fortuner Euroasia
What with reference toreference to the image overif you already believe so as tos to the just starting outt starting out splendiddid fortuner been tested up to Euroasia? Apabiala you already believe the trial rather than than, you couldld without more adoe ado optrticularicular kind of variant resale by PT Toyota Astra Motor. What with reference toreference to the kind of variant?

Kinds of Type Toyota Grand New Fortuner

With a variety of styles of Toyota Fortuner and eachdesign nearbyy are 4 types of most up-to-datep-to-date models of Toyota Fortuner 2012

1. Grand New Fortuner 2.5 G VN Turbo M / T

VN Turbo 2.Grand New Fortuner 2.5 G A / T

3.Grand New Fortuner 2.5 G VN Turbo M / T TRD

VN Turbo 4.Grand New Fortuner 2.5 G A / T TRD


Grand New Fortuner
Of 4 types of models are 3 types of models of the same type of devicemeliliki using IL 16 valve, DOHC, D4D, VN Turbo Intercooler and toomemepunyai cylinder of the same. And the picture overis the just starting outt starting out 2012 toyota cars the Toyota Grand New Fortuner and could you repeat that?D you repeat that? Kind fortuner feeingle-handedlye-handedly? In the function of the function of in place ofplace of the fees less

Price Toyota Grand New Fortuner

FORTUNER G A / T GASOLINE NEW LUX 447,850,000
FORTUNER G A / T GASOLINE NEW LUX TRD 473,300,000
FORTUNER V A / T GASOLINE NEW 499,700,000
FORTUNER G M / T DIESEL NEW 384,750,000
FORTUNER G M / T TRD DIESEL NEW 409,650,000
FORTUNER G A / T DIESEL NEW 395 000 000
FORTUNER G A / T TRD DIESEL NEW 419,900,000

Price dariFortuner bedasesuai in the leastthe least dissimilarr with the type and if you yearn forn for the car fortuner is please to visit the formalebsite of toyota is in http://www.Toyota.Co.Id. With little in rankmovee with reference toreference to Best SUV Fortuner couldld be informativeative to you and silakanshare digoogle well as profi plus google 
Description: Fortuner SUV Terbaik Indonesia Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Fortuner SUV Terbaik Indonesia


Shares News - 21.49
Read More Add your Comment 0 komentar


Kebanggaan dan Kesombongan



Suatu hari di tepi sebuah sungai, seorang ulama melihat laki -laki sedang duduk bersama dengan seorang wanita muda dan didekat mereka ada sebotol arak. Terlintas dalam hatinya “alangkah bejatnya orang itu, dan alangkah baiknya kalau ia seperti aku”.

Tiba-tiba kelihatan sebuah perahu tidak jauh dari orang itu, perahu itu berangsur-angsur tenggelam sehingga tujuh orang yang berada di dalamnya hampir mati kelemasan. Orang laki-laki yang duduk di tebing sungai itu segera terjun ke sungai untuk menolong mereka dan berhasil diselamatkannya hanya enam orang, kemudian orang itu berpaling kepada Ulama tadi dan berkata “Jika kamu lebih mulia dari saya, maka dengan nama Allah, selamatkanlah seorang lagi yang belum dapat saya selamatkan. Kamu diminta hanya menyelamatkan satu orang, sedang saya telah menyelamatkan enam orang”.

Tetapi sayang, Ulama tersebut tidak dapat menyelamatkan orang yang tinggal seorang itu, maka laki-laki itu pun berkata kepada Ulama tersebut “Tuan, wanita yang duduk di samping saya tadi ialah ibuku, dan botol itu hanya berisi air putih saja, bukan arak. Hal ini adalah untuk menguji tuan”.

Mendengar kata-kata itu, Ulama tersebut tertegun, lalu berkata ”Sebagaimana tuan telah menyelamatkan enam orang, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam air kebanggaan dan kesombongan”

Orang itu menjawab “Mudah-mudahan Allah kabulkan maksudmu”.

Ulama tersebut merasa maksudnya telah terkabul, sejak itu beliau sangat merendahkan diri, bahkan menganggap dirinya lebih hina dari orang lain.Description: Kebanggaan dan Kesombongan Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Kebanggaan dan Kesombongan


Shares News - 08.58
Read More Add your Comment 0 komentar


Hidup yang Lebih Bermakna










Sepasang suami istri hidup bahagia. Sejak 10 tahun yang lalu,sang istri terlibat aktif dalam kegiatan untuk menentang ABORSI,karena menurut pandangannya, aborsi berarti membunuh seorang bayi. Setelah bertahun-tahun berumah-tangga,khirnya sang istri hamil, sehingga pasangan tersebut sangat bahagia. Mereka menyebarkan kabar baik ini kepada famili, teman-teman dan sahabat-sahabat, dan lingkungan sekitarnya.

Semua orang ikut bersukacita dengan mereka. Tetapi setelah beberapa bulan, sesuatu yang buruk terjadi. Dokter menemukan bayi kembar dalam perutnya, seorang bayi laki-laki dan perempuan. Tetapi bayi perempuan mengalami kelainan, dan ia mungkin tidak bisa hidup sampai masa kelahiran tiba. Dan kondisinya juga dapat mempengaruhi kondisi bayi laki-laki. Jadi dokter menyarankan untuk dilakukan aborsi, demi untuk sang ibu dan bayi laki-laki nya.

Fakta ini membuat keadaan menjadi terbalik. Baik sang suami maupun sang istri mengalami depressi. Pasangan ini bersikeras untuk tidak menggugurkan bayi perempuannya (membunuh bayi tersebut), tetapi juga kuatir terhadap kesehatan bayi laki-lakinya.

"Saya bisa merasakan keberadaannya, dia sedang tidur nyenyak", kata sang ibu di sela tangisannya. Lingkungan sekitarnya memberikan dukungan moral kepada pasangan tersebut, dengan mengatakan bahwa ini adalah kehendak Tuhan. Ketika sang istri semakin mendekatkan diri dengan Tuhan, tiba-tiba dia tersadar bahwa Tuhan pasti memiliki rencana-Nya dibalik semua ini. Hal ini membuatnya lebih tabah.

Pasangan ini berusaha keras untuk menerima fakta ini Mereka mencari informasi di internet, pergi ke perpustakaan, bertemu dengan banyak dokter, untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah bayi mereka. Satu hal yang mereka temukan adalah bahwa mereka tidak sendirian.

Banyak pasangan lainnya yang juga mengalami situasi yang sama, dimana bayi mereka tidak dapat hidup lama. Mereka juga menemukan bahwa beberapa bayi akan mampu bertahan hidup, bila mereka mampu memperoleh donor organ dari bayi lainnya. Sebuah peluang yang sangat langka. Siapa yang mau mendonorkan organ bayinya ke orang lain?

Jauh sebelum bayi mereka lahir, pasangan ini menamakan bayinya, Jeffrey dan Anne. Mereka terus bersujud kepada Tuhan. Pada mulanya, mereka memohon keajaiban supaya bayinya sembuh. Kemudian mereka tahu, bahwa mereka seharusnya memohon agar diberikan kekuatan untuk menghadapi apapun yang terjadi, karena mereka yakin Tuhan punya rencana-Nya sendiri.

Keajaiban terjadi, dokter mengatakan bahwa Anne cukup sehat untuk dilahirkan, tetapi ia tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 jam. Sang istri kemudian berdiskusi dengan suaminya, bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi pada Anne, mereka akan mendonorkan organnya. Ada dua bayi yang sedang berjuang hidup dan sekarat, yang sedang menunggu donor organ bayi. Sekali lagi, pasangan ini berlinangan air mata. Mereka menangis dalam posisi sebagai orang tua, dimana mereka bahkan tidak mampu menyelamatkan Anne.

Pasangan ini bertekad untuk tabah menghadapi kenyataan yg akan terjadi. Hari kelahiran tiba. Sang istri berhasil melahirkan kedua bayinya dengan selamat. Pada momen yang sangat berharga tersebut, sang suami menggendong Anne dengan sangat hati-hati, Anne menatap ayahnya, dan tersenyum dengan manis.

Senyuman Anne yang imut tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya. Tidak ada kata-kata di dunia ini yang mampu menggambarkan perasaan pasangan tersebut pada saat itu. Mereka sangat bangga bahwa mereka sudah melakukan pilihan yang tepat (dengan tidak mengaborsi Anne), mereka sangat bahagia melihat Anne yang begitu mungil tersenyum pada mereka, mereka sangat sedih karena kebahagiaan ini akan berakhir dalam beberapa jam saja.

Sungguh tidak ada kata-kata yang dapat mewakili perasaan pasangan tersebut. Mungkin hanya dengan air mata yang terus jatuh mengalir, air mata yang berasal dari jiwa mereka yang terluka. Baik sang kakek, nenek, maupun kerabat famili memiliki kesempatan untuk melihat Anne.

Keajaiban terjadi lagi, Anne tetap bertahan hidup setelah lewat 2 jam. Memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi keluarga tersebut untuk saling berbagi kebahagiaan. Tetapi Anne tidak mampu bertahan setelah enam jam.

Para dokter bekerja cepat untuk melakukan prosedur pendonoran organ Anne. Setelah beberapa minggu, dokter menghubungi pasangan tersebut bahwa donor organ Anne tersebut berhasil. Dua bayi berhasil diselamatkan dari kematian Anne.

Pasangan tersebut sekarang sadar akan kehendak Tuhan. Walaupun Anne hanya hidup selama 6 jam, tetapi dia berhasil menyelamatkan dua nyawa. Bagi pasangan tersebut, Anne adalah pahlawan mereka, dan sang Anne yang mungil akan hidup dalam hati mereka selamanya.

=======

Ada 3 point penting yang dapat kita renungkan dari kisah ini :

SESUNGGUHNYA, tidaklah penting berapa lama kita hidup, satu hari ataupun bahkan seratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang kita telah kita lakukan selama hidup kita, yang bermanfaat bagi orang lain.

SESUNGGUHNYA, tidaklah penting berapa lama perusahaan kita telah berdiri, satu tahun ataupun bahkan dua ratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang dilakukan perusahaan kita selama ini, yang bermanfaat bagi orang lain.

Ibu Anne mengatakan "Hal terpenting bagi orang tua bukanlah mengenai bagaimana karier anaknya di masa mendatang, dimana mereka tinggal, maupun berapa banyak uang yang mampu mereka hasilkan. Tetapi hal terpenting bagi kita sebagai orang tua adalah untuk memastikan bahwa anak-anak kita melakukan hal-hal terpuji selama hidupnya, sehingga ketika kematian menjemput mereka, mereka akan menuju surga".Description: Hidup yang Lebih Bermakna Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Hidup yang Lebih Bermakna


Shares News - 08.54
Read More Add your Comment 0 komentar


Goresan di Mobil (Jaguar vs miskin)



Tersebutlah seorang pengusaha muda dan kaya. Ia baru saja membeli mobil mewah, sebuah Jaguar yang mengkilap. Kini, sang pengusaha, sedang menikmati perjalanannya dengan mobil baru itu. Dengan kecepatan penuh, dipacunya kendaraan itu mengelilingi jalanan tetangga sekitar dengan penuh rasa bangga dan prestise.

Di pinggir jalan, tampak beberapa anak yang sedang bermain sambil melempar sesuatu. Namun, karena berjalan terlalu kencang, tak terlalu diperhatikannya anak-anak itu.

Tiba-tiba, dia melihat seseorang anak kecil yang melintas dari arah mobil-mobil yang di parkir di jalan. Tapi, bukan anak-anak yang tampak melintas sebelumnya.

"Buk....!" Aah..., ternyata, ada sebuah batu seukuran kepalan tangan yang menimpa Jaguar itu yang dilemparkan si anak itu. Sisi pintu mobil itupun koyak, tergores batu yang dilontarkan seseorang.

"Cittt...." ditekannya rem mobil kuat-kuat. Dengan geram, dimundurkannya mobil itu menuju tempat arah batu itu di lemparkan. Jaguar yang tergores, bukanlah perkara sepele. Apalagi, kecelakaan itu dilakukan oleh orang lain, begitu pikir sang pengusaha dalam hati. Amarahnya memuncak. Dia pun keluar mobil dengan tergesa-gesa. Di tariknya anak yang dia tahu telah melempar batu ke mobilnya, dan di pojokkannya anak itu pada sebuah mobil yang diparkir.

"Apa yang telah kau lakukan? Lihat perbuatanmu pada mobil kesayanganku! Lihat goresan itu", teriaknya sambil menunjuk goresan di sisi pintu. "Kamu tentu paham, mobil baru jaguarku ini akan butuh banyak ongkos di bengkel untuk memperbaikinya."Ujarnya lagi dengan kesal dan geram, tampak ingin memukul anak itu.

Si anak tampak menggigil ketakutan dan pucat, dan berusaha meminta maaf. "Maaf Pak, Maaf. Saya benar-benar minta maaf. Sebab, saya tidak tahu lagi harus melakukan apa." Air mukanya tampak ngeri, dan tangannya bermohon ampun. "Maaf Pak, aku melemparkan batu itu, karena tak ada seorang pun yang mau berhenti...."

Dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipi dan leher, anak tadi menunjuk ke suatu arah, di dekat mobil-mobil parkir tadi.

"Itu disana ada kakakku yang lumpuh. Dia tergelincir, dan terjatuh dari kursi roda. Saya tak kuat mengangkatnya, dia terlalu berat, tapi tak seorang pun yang mau menolongku. Badannya tak mampu kupapah, dan sekarang dia sedang kesakitan.." Kini, ia mulai terisak.

Dipandanginya pengusaha tadi. Matanya berharap pada wajah yang mulai tercenung itu. "Maukah Bapak membantuku mengangkatnya ke kursi roda? Tolonglah, kakakku terluka, tapi saya tak sanggup mengangkatnya."

Tak mampu berkata-kata lagi, pengusaha muda itu terdiam. Amarahnya mulai sedikit reda setelah dia melihat seorang lelaki yang tergeletak yang sedang mengerang kesakitan. Kerongkongannya tercekat. Ia hanya mampu menelan ludah. Segera dia berjalan menuju lelaki tersebut, di angkatnya si cacat itu menuju kursi rodanya.

Kemudian, diambilnya sapu tangan mahal miliknya, untuk mengusap luka di lutut yang memar dan tergores, seperti sisi pintu Jaguar kesayangannya. Setelah beberapa saat, kedua anak itu pun berterima kasih, dan mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja. "Terima kasih, dan semoga Tuhan akan membalas perbuatan Bapak."

Keduanya berjalan beriringan, meninggalkan pengusaha yang menatap kepergian mereka. Matanya terus mengikuti langkah sang anak yang mendorong kursi roda itu, melintasi sisi jalan menuju rumah mereka.

Berbalik arah, pengusaha tadi berjalan sangat perlahan menuju Jaguar miliknya. Dtelusurinya pintu Jaguar barunya yang telah tergores itu oleh lemparan batu tersebut, sambil merenungkan kejadian yang baru saja di lewatinya.

Kerusakan yang dialaminya bisa jadi bukanlah hal sepele, tapi pengalaman tadi menghentakkan perasaannya. Akhirnya ia memilih untuk tak menghapus goresan itu. Ia memilih untuk membiarkan goresan itu, agar tetap mengingatkannya pada hikmah ini. Ia menginginkan agar pesan itu tetap nyata terlihat: "Janganlah melaju terlalu cepat dalam hidupmu, karena, seseorang akan melemparkan batu untuk menarik perhatianmu."

--oo0oo--

Teman, sama halnya dengan kendaraan, hidup kita akan selalu berputar, dan dipacu untuk tetap berjalan. Di setiap sisinya, hidup itu juga akan melintasi berbagai macam hal dan kenyataan. Namun, adakah kita memacu hidup kita dengan cepat, sehingga tak pernah ada waktu buat kita untuk menyelaraskannya untuk melihat sekitar?

Tuhan, akan selalu berbisik dalam jiwa, dan berkata lewat kalbu kita. Kadang, kita memang tak punya waktu untuk mendengar, menyimak, dan menyadari setiap ujaran-Nya. Kita kadang memang terlalu sibuk dengan bermacam urusan, memacu hidup dengan penuh nafsu, hingga terlupa pada banyak hal yang melintas.

Teman, kadang memang, ada yang akan "melemparkan batu" buat kita agar kita mau dan bisa berhenti sejenak.

Semuanya terserah pada kita. Mendengar bisikan-bisikan dan kata-kata-Nya, atau menunggu ada yang melemparkan batu-batu itu buat kita, agar kita tersadar dan berhenti sejenak?Description: Goresan di Mobil (Jaguar vs miskin) Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Goresan di Mobil (Jaguar vs miskin)


Shares News - 08.53
Read More Add your Comment 0 komentar


Mencabut Rumput



Halaman gondrong. Itulah kesan saya setiap kali memandang ke teras depan. Harapan untuk punya waktu cukup untuk merapikan pekarangan selalu saja pupus ditelan segudang rutinitas harian yang tidak kunjung berakhir.

Pagi ini, saya terbangun, menatap jam dinding: pukul lima subuh. Lamat-lamat terdengar seorang laki-laki melantunkan ayat-ayat suci. Sang bayi mungil masih lelap dalam tidurnya. Sambil menatap langit-langit kamar, ingatan melayang ke istilah yang populer di mailing list alumni SMU saya: Thank's God, It's Friday.

Dulu, saya suka tertawa membaca judul email seperti itu. Kesan pertama adalah ungkapan frustrasi. Penuh penderitaan menjalani lima hari kerja senin sampai jumat. Kenapa tidak bisa dinikmati saja semua aktivitas harian, sehingga semua hari terasa indah? Begitu sok tahunya saya waktu itu, mentang-mentang tidak biasa dikejar deadline yang ada konsekuensi nyata dan kerasnya bila tidak ditepati.

Saya ibu rumah tangga. Tak pernah jadi mahasiswi ataupun karyawati. Praktis, kantor saya di rumah. Dan hampir bisa dikatakan, saya adalah bosnya, di mana manajer adalah suami. Pada dasarnya, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga juga punya deadline dan konsekuensi. Hanya saja, tak begitu nyata terasa eksistensinya. Taruhlah misalnya, deadline untuk selesai menyiapkan sarapan dan bekal sekolah adalah pukul tujuh pagi.

Kalau itu dilanggar, konsekuensinya adalah anak terburu-buru berangkat dan bisa ada yang kelupaan. Kalau itu barang yang penting sekali, saya mesti pergi mengantarkannya ke sekolah, tentu saja sambil menggendong Si Bungsu dan menggandeng Si Tengah. Konsekuensi yang masih bisa saya toleri.

Bagaimana kalau jadinya malas masak? Makan yang instan-instan saja? Konsekuensinya, anak dan suami gampang sakit. Jalan keluarnya, ke dokter. Kalau terlalu sering, kelak baru menyesal anak tumbuh kurang gizi dan terhambat kecerdasannya. Prestasi suami di kantor bisa menurun. Konsekuensi yang cukup lama rentang waktunya, sehingga bisa melalaikan.

Bayangkan kalau deadline yang terikat dengan professor, misalnya bagi seorang mahasiswa. Atau deadline yang dipantau supervisor bagi para karyawan-karyawati. Tentunya mereka tidak punya banyak pilihan membuat urut-urutan aktivitas harian. Wajar saja, kalau dari mereka lahir istilah yang mengungkapkan suka cita akan datangnya akhir pekan.

Namun, akhir-akhir ini saya mulai ikut bergumam di Jumat pagi, Thank's God, It's Friday. Karena ternyata, keinginan menggebu-gebu untuk bisa rutin belajar, membuat saya menanti-nanti akhir pekan. Di mana saya bisa menikmati subuh lebih lama, sampai anak-anak bangun, tanpa perlu dikejar deadline membuat bekal. Bisa dibantu suami pergi belanja atau mengasuh anak.

Cahaya lembayung pagi Sabtu ini memang saya sambut dengan suka cita. Setelah kemarin pagi latah bergumam, "Thank's God, It's Friday." Saya menghabiskan waktu subuh, jam lima sampai jam tujuh, merapikan pekarangan. Rumput-rumput liar dicabut. Ketika tangan jari-jari mulai sakit karena terlalu banyak bergesekan dengan tanah dan batang rumput, saya mulai malas bersusah payah. Ambil clurit, lalu babat.

Tiba-tiba saja datang pikiran, apa gunanya membabat bagian atasnya saja, sedangkan akar dan tunasnya masih banyak di tanah. Sebentar saja, mereka pasti tumbuh lagi. Memang sih cepat sekali pekarangan jadi bersih, tapi... tetap saja ada perasaan tidak nyaman. Mencari akar rumput, apalagi yang jenisnya tumbuhan menjalar, memang butuh waktu cukup lama dibandingkan membabat. Tapi ada perasaan nikmat dan puas ketika yakin bukan cabang yang tercabut, melainkan akarnya.

Pikiran saya malah melayang ke cara menyelesaikan suatu masalah. Seringkali begitu, kita malas bersusah-susah menggali sampai ke akar masalah. Bahkan seringkali kita asyik memangkas persoalan di bagian tepi-tepinya saja. Hasilnya, masalah itu tetap tumbuh, lalu babat, tumbuh lagi. Akhirnya waktu kita habis berputar-putar dalam masalah yang sama tanpa ada penyelesaian yang memuaskan.

Saya jadi sangat tertarik dengan fenomena pencabutan rumput ini, lalu coba ingat-ingat lagi uraian yang banyak diterangkan dalam buku-buku pemberdayaan diri. Salah satunya yang paling berbekas adalah 7 Kebiasaan Orang yang Sangat Efektif (Stephen R. Covey). Salah satu kebiasaan itu adalah "Memulai dengan Akhir Dalam Pikiran."

Betul, kalau kita mengerjakan sesuatu tidak dimulai dengan akhir dalam pikiran, tujuan akhir dari proyek yang sedang kita kerjakan, hampir mustahil kita bisa mengetahui apakah kita bergerak maju atau mundur.

Saya ingin pekarangan saya bersih, dan saya tidak punya waktu untuk sering-sering menyiangi rumput. Itu akhir dari proyek saya terkait dengan pekarangan rumah. Untuk itu, saya tidak boleh membabat, tapi mesti mencabut sampai akarnya. Membabat hanya menyelesaikan masalah sejenak. Dua tiga hari, rumput itu akan tumbuh lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari, adakah kita sudah bisa merumuskan akhir dalam pikiran, sebelum mulai bekerja? Sebagai muslim, apakah the big final goal yang ingin kita raih dalam menjalani keseluruhan hari, minggu, bulan, tahun, kehidupan kita? Adakah tujuan akhir itu selalu terpatri dalam hati, sehingga kita bisa memastikan, setiap langkah kehidupan yang dijalani semakin mendekati tujuan itu, atau malah semakin menjauh?Description: Mencabut Rumput Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Mencabut Rumput


Shares News - 08.51
Read More Add your Comment 0 komentar


Kata Sampah



Saya tidak suka kata-kata Anda siang tadi, dan tidak seharusnya Anda berkata seperti itu,” kalimat itu ditujukan kepada saya sore hari setelah pertemuan dengan beberapa sahabat siang sebelumnya. Kemudian saya minta maaf seraya bersukur memiliki sahabat sepertinya, jika bukan karena kami sangat dekat dan menghargai persahabatan ini, tentu ia tidak akan langsung mengkritik kesalahan saya dalam bertutur mau pun bersikap. “Terima kasih, Anda lah sahabat sebenarnya yang mau berterus terang untuk membantu saya memperbaiki kesalahan”.

Kata dan perbuatan seringkali tidak terkontrol dan dengan seenaknya mengalir keluar begitu saja tanpa tersaring lebih dulu. Padahal, jangankan sebuah kata atau tindakan, berpikir negatif pun jika tahu akibat buruk yang bisa ditimbulkannya maka tidak akan pernah sesiapa pun mau apalah lagi berani berpikir negatif. Masalahnya manusia seperti kita terkadang harus mengalami tamparan keras akibat kekeliruan kata dan ketakbenaran tindakan untuk kemudian tersadar, “Oh ya, saya memang salah”. Itulah kemudian banyak orang menyebut, penyesalan selalu datang terakhir.

Ibarat membuang sampah bungkus permen, atau puntung rokok bagi yang merokok. Orang yang melakukannya tak pernah sadar bahwa sampah yang dalam penglihatannya begitu kecil itu akan berdampak besar di kemudian hari. Meski kecil, bayangkan jika Anda melakukannya setiap hari selama puluhan tahun menjalani hidup. Anda tak sendiri, tidak sedikit juga yang menganggap bungkus permen, plastik kue, puntung rokok sebagai hal kecil yang bisa dibuang sembarangan. Bersukur masih ada tukang sapu jalanan yang menyelamatkan kita dari pemandangan kotor kota dan akibat yang lebih buruk yang bisa ditimbulkan jika sampah-sampah kecil itu dibiarkan berserakan di jalan sekian lama. Setidaknya, sebagai penduduk kota kita akan dicap bagian dari masyarakat kotor yang tak mengerti kebersihan.

Misalkan Anda sering membuang sampah di halaman depan rumah Anda. Tak pernah sekali pun ada yang membersihkannya di pagi atau sore hari, begitu seterusnya selama berhari-hari. Siapa yang akan menerima akibat buruk dari sampah yang menumpuk di halaman rumah Anda itu? Tetangga Anda mungkin akan menerima akibatnya, tapi sudah jelas Anda lah yang pertama kali mendapat akibat buruknya. Dicap sebagai orang tak tahu kebersihan, ditambah lagi Anda akan terjangkit penyakit dari tumpukan sampah yang membusuk.

Begitu lah juga kata dan tindakan yang tak lagi melalui seleksi ketat, ia seperti sampah yang menyebabkan Anda dibenci orang karena telah membuat sakit hati dan perih telinga yang mendengar kata-kata sampah Anda. Pernahkah Anda ditampar seseorang karena perbuatan keliru Anda? Saya pernah, belasan tahun silam. Tapi sakit dari tamparan itu masih bisa saya rasakan hingga detik ini.

Bukan hanya kata dan tindakan salah, bahkan yang tak salah namun tak bermanfaat pun bisa merupakan sampah bagi orang lain. Pastikan setiap kata bermakna, atau diam. Itu pilihan terbijak bagi kita agar tak semakin banyak orang yang muak, mual kemudian muntah di muka kita sendiri akibat teramat banyak sampah-sampah yang kita jejalkan kepada mereka, akibat teramat sering mulut ini mengeluarkan bau busuk dari kalimat yang tak bermanfaat, yang mengiris-iris hati, memerahkan telinga.

Contoh kecil, bukankah kita sering dibuat kesal setiap kali menerima junkmail (email sampah yang entah datangnya dari mana)? Semakin dibuat kesal jika jumlahnya semakin tak terbilang mampir di inbox email kita karena harus setiap hari men-delete-nya. Begitulah juga kesalnya orang mendengar kalimat sampah dari mulut ini. Masalahnya lagi, menghilangkan kata sampah yang terlanjur hinggap di telinga tak semudah menghapus email sampah dari inbox kita.Description: Kata Sampah Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Kata Sampah


Shares News - 08.46
Read More Add your Comment 0 komentar


Inikah yang Terbaik Bagiku



Saya punya seorang teman bernama A. Kami berdua pernah punya pengalaman yang mirip, tapi di "bidang" yang berbeda. Pengalaman saya di bidang "mencari pekerjaan", sedangkan si A di bidang "jodoh". Tapi walau berbeda, kedua pengalaman ini punya inti yang sama, yaitu mengenai "apa yang terbaik bagi kita?"

Saya akan menceritakan kedua pengalaman tersebut, semoga bermanfaat bagi kita semua.

PENGALAMAN SAYA

Dulu saya bekerja di sebuah ISP yang sangat tidak menyenangkan: Gaji kecil, pekerjaannya membosankan, lingkungan kerjanya tidak enak, dan para atasan saya tidak tahu bagaimana cara memperlakukan bawahan dengan baik. Karena tidak betah, saya mencoba mencari pekerjaan baru. Banyak perusahaan yang sudah saya lamar, tapi tak ada yang berhasil.

Namun di tengah ikhtiar untuk mencari pekerjaan baru itu, ada sebuah perusahaan -sebuah biro iklan ternama di Jakarta Selatan- yang sepertinya sangat bagus prospeknya. Saya melamar kerja ke sana, dan dari hasil wawancara saya mendapat gambaran bahwa peluang saya untuk diterima di sana sangat besar.

Saya pulang ke rumah dengan harapan yang sangat tinggi. Saya menunggu panggilan, tapi tidak kunjung datang juga. Hampir dua bulan menunggu, tidak ada kabar satu pun dari biro iklan tersebut. Padahal saya saat itu merasa bahwa pekerjaan dan kantor di biro iklan tersebut sangat ideal bagi saya. Intinya, saya sangat berharap agar bisa diterima bekerja di biro iklan ini, tapi panggilan yang tak kunjung tiba membuat saya stress dan bingung berat.

Di tengah rasa stress dan kebingungan tersebut, saya mendapat kabar bahwa ada lowongan kerja di sebuah ISP (kantor saya sekarang). Saya tidak terlalu tertarik mendengar berita itu. Saya pikir, "Kerja di ISP lagi? Paling-paling nanti pekerjaannya sama saja dengan yang sekarang."

Namun walau tidak terlalu tertarik, saya tetap mengirim surat lamaran, dengan harapan siapa tahu bisa diterima, dan siapa tahu kondisi di sana lebih baik. Tapi terus terang, saya melamar kerja ke sana dengan semangat yang biasa-biasa saja. Ibarat kata orang sekarang, "iseng-iseng berhadiah."

Dan ternyata, saya pun diterima bekerja di ISP tersebut. Di luar dugaan saya, kondisi di sini benar-benar berbeda. Gajinya lumayan, lingkungannya asyik, para bos-nya baik hati dan sangat manusiawi dalam memperlakukan karyawan. Dan yang lebih menyenangkan... lokasi kantornya dekat banget ke rumah kos saya ketika itu, di daerah Slipi. Saya cukup jalan kaki saja kalau mau ngantor. Bahkan yang membuat saya makin "cinta" sama kantor yang baru ini: Di sinilah untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan seorang teman, dan teman inilah yang akhirnya menuntun saya ke jalan Hidayah, kembali ke Jalan Allah setelah sekian lama saya tersesat entah ke mana.

PENGALAMAN Si A

Teman saya si A ini, ketika dia sudah bekerja, memutuskan untuk segera menikah. Dia pun melakukan ikhtiar, dan suatu ketika dia bertemu dengan seorang teman sekantornya yang sangat menarik (sebut saja B), dan dia merasa bahwa "inilah wanita yang saya cari selama ini".

Singkat cerita, si A dan B pun melakukan ta'aruf. Tapi di balik itu, ternyata si B sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Tapi si B tidak suka pada pria yang dijodohkan dengannya itu.

Orang tua si B, setelah tahu hubungan kedekatan anaknya dengan A, langsung mengambil tindakan cepat. Mereka menikahkan si B "secara paksa" dengan si pria tersebut.

Teman saya si A jadi patah hati. Ya.. putus cinta deh ceritanya. Hehehe... Tapi karena dia sudah bertekad hendak menikah, dia pun kembali berikhtiar. Singkat cerita, dia bertemua dengan si C, yang sekarang menjadi istrinya.

Ketika bertemu, tidak ada perasaan suka atau cinta sama sekali di hati A terhadap C. Tapi karena dia sudah bertekad untuk menikah, dan merasa mantap setelah shalat istikharah, maka si A pun menikahi C ini.

Kini teman saya si A ini sudah punya tiga anak. Dia bercerita pada saya, bahwa di tahun pertama pernikahannya, mereka sering berantem karena tidak cocok. Tapi ketabahan, kebaikan, kesabaran dan kelemahlembutan sikap C akhirnya meluluhkan hati teman saya si A ini. Intinya, secara perlahan rasa cintanya pada si C mulai tumbuh. Ketika bertemu dengan saya, dia berkata seperti ini, "Wah, sekarang saya jadi tahu bahwa istri saya itu adalah wanita tercantik dan terbaik di dunia."

--oo0oo--

Inti dari kedua pengalaman saya dan pengalaman si A di atas adalah: Kita kadang-kadang merasa bahwa sesuatu itu adalah yang terbaik bagi kita. Lalu kita menyelepelekan hal-hal lain yang menurut kita tidak baik bagi kita.

Padahal kita sebagai manusia sangat terbatas pengetahuan kita. Hanya Allah-lah yang Maha Tahu dan mengetahui persis apa yang terbaik bagi kita, dan apa yang tidak baik bagi kita.

Karena itu, bersikap tawakal dalam segala kondisi merupakan tindakan yang baik. Dan selalulah berbaik sangka pada Allah.

Semoga bermanfaat, dan maaf kalau ada yang tidak berkenan.Description: Inikah yang Terbaik Bagiku Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Inikah yang Terbaik Bagiku


Shares News - 08.44
Read More Add your Comment 0 komentar


Mencari Ilmu Kesaktian










Alkisah (alkisah artinya kisah yang tidak mesti dipercaya kebenarannya, karena tingkat kesahihan riwayat yang masih diragukan) tersebutlah seorang pemuda dari kerajaan antah-berantah yang berada di pulau Lombok bagian selatan dekat-dekat Gerung, sebut saja Tuak Man, begitu terobsesi ingin memiliki ilmu kesaktian, ilmu kanuragan yang akan digunakannya membasmi kejahatan curas, curanmor, begal rampok dan kejahatan korupsi yang sedang marak di kampungnya. Dengan semangat patriotisme dan obsesi yang tinggi Tuak Man berangkat ke kampung Jeranjang, yang juga berada di Lombok bagian selatan untuk berguru kepada seorang pendekar tua yang terkenal kesaktiannya. Tujuannya hanya satu, menjadi pahlawan yang akan membasmi kejahatan, seperti tokoh-tokoh idolanya, seperti Superman, Batman, Gundala, Godam dan Khairiyansyah.

Singkat cerita, setelah melakukan perjalanan yang melelahkan, melewati jalan setapak menerobos hutan, mendaki bukit, menuruni lembah nan curam dan bila letih tak tertahan ia sesekali naik ojek, sampailah tokoh kita ini di padepokan sang pendekar tua. Dengan wajah setengah percaya setengah tidak, di depan gerbang padepokan, Tuak Man disambut dengan ritual dan alu-aluan selamat datang.

Setelah bersalam tabik secukupnya dan menurunkan barang bawaan, beras pati, ayam putih mulus dan satu siung bawang putih, Tuak Man, sang tokoh kita ini menyampaikan maksud kedatangannya kepada sang pendekar digjaya. Tak lupa Tuak Man menyampaikan keprihatinannya tentang kejahatan yang semakin marak, keprihatinan tentang kondisi kampungnya yang semakin edan, bandit dan begundal lalu-lalang petantang-petenteng terang-terangan.

Demi mendengar penjelasan maksud kedatangan Tuak Man, sang tetua pendekar sakti manggut-manggut, menyibak-nyibak jenggotnya yang awut-awutan dan ubanan. Dengan kalimat terpatah-patah sang pendekar digjaya menyatakan bersedia mengajarkan satu ilmu yang sangat ampuh. Keampuhan ilmu tersebut adalah mampu melenyapkan segala bentuk gangguan, jin, sihir, dedemit, atau gunderuwo yang menghadang termasuk melemahkan musuh.

"Tentu saja," kata sang Pendekar Tua dengan berwibawa, "ajian ini bisa mengalahkan sirep para maling, melumpuhkan begal-begal, dan mengalahkan semuanya!"

"Cuman, Cu, Eyang tidak yakin apakah nantinya kamu sebagai pemilik ajian ini mampu bertahan dengan ajian sogokan waktu pemilihan lurah. Kamu tahu kan sekarang, sogokan dalam pemilihan lurah sudah pakai janda kembang. Ha ha ha..."

Tinggallah tokoh kita kebingungan, karena tidak mengerti letak lucunya penjelasan sang eyang.

"Kamu akan Eyang ajarkan ajian yang sangat ampuh. Untuk melenyapkan gangguan, melumpuhkan sirep begal-begal, caranya cukup mudah. Baca jejampian ini sambil menahan napas dan menghentakkan kaki tiga kali ke tanah. Bila musuh yang dihadapi tidak terlalu digjaya, maka cukup sekali saja merapal mantera, ia akan hilang. Tetapi bila ternyata musuh yang dihadapi tidak mau pergi, ajian ini harus kamu ulangi sampai tiga kali."

"Bila setelah tiga kali dibacakan mantera tetapi masih juga tidak bisa menghilang, lebih baik kamu tinggalkan tempat itu dan kembali ke sini meminta bantuan karena pastilah ia pendekar yang berilmu sangat tinggi atau makhluk yang sangat ganas." Demikian pesan sang guru.

Syahdan, masa dua tiga bulan latihan pun berlalu. Dengan latihan yang keras dan dendam yang memanas, akhirnya sampailah si tokoh kita pada malam pentahbisan, malam ujian untuk lulus-lulusan. Dua tiga lawan ia rontokkan, empat lima cobaan telah dikalahkan. Dan di malam pengumuman, Tuak Man dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan.

Dengan hati berbunga-bunga setelah mampu menghapal ajian ini dan mencoba membuktikan keampuhannya, Tuak Man malam-malam pulang sendiri lewat kuburan Batu Muluk (sebuah lokasi kawasan pemakaman di pinggir jalan di dekat Peseng, Desa Kebon Ayu, Gerung yang terkenal keangkerannya). Dari kejauhan Tuak Man melihat satu titik kuning di pinggir jalan, diam tidak bergerak menghalangi jalannya. Keyakinannya menyatakan bahwa makhluk ini adalah penghadang, dan ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk menjajal manteranya.

Tanpa rasa takut ia terus saja berjalan, mendekati sang penghadang. Setelah berada dalam posisi berhadapan, dengan penuh percaya diri ia merapal manteranya, menahan napas dan menghentakkan kakinya tiga kali ke bumi. Makhluk itu ternyata tidak bergeming. Sesuai pesan gurunya, ia mengulang sekali lagi. Dengan bacaan kedua pun ternyata makhluk itu tetap tidak mau pergi. Setelah bacaan keduanya, hati si tokoh kita ini mulai sedikit ciut. Dengan perasaan masih percaya diri dibarengi dengan perasaan agak takut-takut, ia membaca ajian pemungkasnya. Aneh, makhluk itu pun tidak mau pergi.

Sesuai pesan gurunya, ia beringsut pergi kembali ke tempat gurunya untuk meminta bantuan karena di dunia nyata, ternyata senyata-nyatanya ia telah gagal sejak penghadangan pertama.

Dengan bersama sang guru, ia kembali ke kubur Batu Muluk. Dan benar, makhluk itu masih di sana. Dengan posisi kuda-kuda, sang pendekar tua mulai merapal mantera. "Wes, wes, wes, dedemit penghalang, enyahlah dari hadapan. Busss!"

Ternyata makhluk penghadang berwujud kuning besar itu tidak bergeming. Satu kali, dua kali tiga kali diulang, makhluk penghadang tetap tidak juga mau pergi.

Diam-diam mereka berdua menyimpan tanya dan ketakutan. Dalam diam yang bisu mereka menanti keajaiban dengan harap-harap cemas; keajaiban yang dapat membebaskan mereka dari musuh yang hebat:

Dan benar! Tiba-tiba dari kejauhan berkelebat sebuah sinar terang. Begitu cepat begitu terang, kilat tanpa hujan. Terang yang sebenar-benarnya terang. Dan tergambar jelas di atas makhluk besar itu:Description: Mencari Ilmu Kesaktian Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Mencari Ilmu Kesaktian


Shares News - 08.42
Read More Add your Comment 0 komentar


Masjid Itu Masih Sepi



Apalah artinya seorang pemuda yang sering disebut Karmat, sebagai penterjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia pada sebuah penerbitan yang tidak terkenal adalah mata pencaharian sehariannya. Nama lengkapnya adalah Karmat Sudra Marga Mahesa, yang suka marah kalau dipanggil Sudra karena dianggapnya terlalu menyalahi komitmen kemerdekaan Amerika yang sering didengungkan seorang prajurit Perancis oleh Lafayetee: Liberte, Egalite, Fraternite. Atau orang modern bilang, itu sangat menyalahi Hak Asasi Manusia karena kasta sudah terhapuskan.

Apalah artinya sebuah nama bila mendadak Dramawan Agung dari zaman Pertengahan, Shakespeare disangkal oleh umpatan Karmat, ketika salah seorang kawan memanggilnya dengan Mahesa.

“Edan!” makinya, meski ia punya nama mahesa bukan berarti ia seperti kebo. Ia pernah menusuk lambung Janer (tetangganya) dengan pisau dapur tatkala meledek dirinya dengan nama Dr. Guyup Mahesa, alias Doktor kumpul kebo, sehingga pledoi yang dikemukakan saat persidangan kepada sang Hakim sebanyak tiga ratus halaman selalu berkisar penerjemahan kalimat: La tahtaqir Man dunaka falikulli syai’in maziyah.

“Orang itu gila, masa aku dipanggil Doktor Guyup Mahesa, emangnya penghalusan kata bahasa Indonesia itu sudah tidak cukup puas menjajah etika, politik, ekonomi dan lain-lain..., itu penjajahan dan jelas diharamkan oleh preambule. Itu lihat pelacur dijajah oleh penghalusan kata dengan Wanita Tuna Susila, sekarang dihaluskan lagi dengan Pramuselangkangan, wah..., wah..., aku kena getahnya...” protesnya dalam wawancara sama wartawan “Pos Kotak” saat ia berjalan diapit petugas menuju mobil tahanan.

Sedari kecil Karmat memang jadi bahan ledekan kawan-kawanya, hingga selama hidupnya jadi rendah diri dan bergelut dengan watak pendendam, tertutup, dan pendiam. Padahal orangnya cerdas dan selalu ranking satu dalam sekolah, pintar berbagai bahasa, seperti ‘percakapan burung-burung’ yang telah dinashkan dalam Al-Qur’an. Bahasa Arab adalah bahasa kebanggaannya karena ia yakin bahwa bahasa Arab adalah bahasa Sorga, selain demikian ia suka dihampiri para Turis dari Perancis untuk konsultasi berbagai pengetahuan wisata. Pergaulannya luas karena bahasa, bukan karena watak inferior yang dimilikinya.

Klaim masyarakat terkadang sadis, dan membentuk kepribadian, sehingga ia tidak mau keluar rumah, kecuali apabila dinas ke kantor, ataupun ke masjid. Orang-orang yang ingin memanfaatkan dirinya harus datang ke rumah, itupun harus diketahui, siapa dulu orangnya, kalau orang sekampungnya, siapa namanya. Ia sangat antipati dengan tetangganya yang bernama, Jagal, Lahap, Sopiyan, Abdullah Ngubai yang namanya mirip musuh-musuh nabi.

“Oalah... Ya Gusti, kenapa orang-orang itu ada di dunia. Laknatullah, laknatullah...” Karmat mengeluh di tengah-tengah malam tatkala rembulan redup penuhi hati. Tangisnya meledak melihat pacoban hidup yang memenuhi agenda hariannya.

***

Tepat pada hari Ahad, Karmat bebas. Tanpa sanak saudara ia pulang sendirian. Para tetangga menyambutnya dengan memalingkan muka. Hal itu sudah tidak lagi masuk dalam perbendaharaan perasaan. Anggap saja suatu yang terbaik.

“Lho..., mas Karmat sudah pulang to...,” sapa bu Makita sinis,

“Kata bapak kalau orang pulang dari penjara namanya residivis ya...”

Gelegar! Emosi Karmat tiba-tiba pecah, tapi ia hanya bisa menampakkan dengan merah padam mukanya dan senyum kecut sambil lalu. Badannya terhuyung-huyung menahan amarah. Dengan cepat-cepat ia hampiri pintu rumah kontrakannya, lekas ia buka untuk mencari botol- botol yang tidak terpakai lagi sebagai kompensasi dari kemarahan yang terpendam.

“Prang!” suara botol kosong membentur tembok belakang rumah.

Dengan nafas ngos-ngosan ia lempar lagi botol-botol yang lain, sampai reda dan lemas. Ia bersandar di dinding sambil melihat tumpukan botol-botol yang ia persiapkan untuk mencairkan emosi-emosi. Keesokan hari ia mencoba ke kantor penerbitan tempat dulu ia bekerja, menghadap direktur dan melaporkan bahwa ia akan kembali bekerja seperti biasa. Dengan hati-hati Karmat mulai merangkai kalimat agar Direktur yang selalu pasang angker itu bisa tersenyum dan lebih-lebih mau menerima kembali.

“Kau Karmat, Kapan Kau bebas” Ujar Pak Sitompul sambil menempuk bahunya.

“Kemaren Pak”

“Kau mau kerja lagi di sini?”

“E..e..., Iya Pak”

“Bagus, sekarang juga kau bersihkan tempatmu yang dulu. Tengok itu, kotor sekali sampai bau apek”.

Tanpa sadar Karmat tiba-tiba memeluk Pak Sitompul dan menangis terharu,

“Aduh, bagaimana caranya saya bilang terimakasih sama bapak, bagaimana, pak...”

“Sudahlah kau Karmat, serahkan saja kapada yang Kuasa, nasib itu ada di tanganNya, yang penting kau kerja di sini".

“Terimakasih pak, saya insya Allah, akan bekerja sebaik-baiknya”

“Iya..., ya..., aku percaya, selama ini kau memang kerja baik, tanpa kau bilang aku yakin kau kerja baik-baik”.

***

Sekarang Karmat sudah resmi dinas di Penerbitan itu, setiap harinya bertumpuk-tumpuk makalah-makalah Bahasa Arab, ia terjemahkan, koran-koran, bahkan Lailat Az Zifaf, buku kegemaran Kiai Rozikin Ozi Aje, tak luput dari garapannya. Ia tak peduli lagi dengan julukan baru yang diberikan masyarakat dengan Resi Karmat singkatan dari Residivis. Ia sudah tuli dengan cemoohan, karena ia sudah bahagia dengan kesibukannya, selain itu hobi memecah botol sudah mulai berkurang.

Status penterjemah sudah cukup baginya, walau masyarakat lebih suka memanggilnya dengan Sang Resi. Siklus kegiatan antara rumah, kantor dan masjid cukup baginya untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Istirahat, kerja dan berdoa adalah kehidupan yang paling vital. Mau apa lagi, ceramah tidak bisa, ngajari ngaji bahasa Inggris sistim gandulan kayak ngaji kitab ‘Uqudulijain kala masih jadi santrinya mbah kiai Kasilan, tidak diterima masyarakat. Apa lagi? mendingan baca cerpen, sambil korek-korek kuping dengan bulu angsa di rumah, menerjemah di Kantor dan memperbanyak doa di masjid. Satu-satunya sahabat yang ada di kampungnya, adalah Marten, tukang Azan dan juru kunci Masjid An Najah, sebuah masjid yang terletak di tengah-tengah padatnya kampung Karmat. Masjid yang cukup besar, biasanya penuh setiap kali sholat Jum’at, namun sangat longgar setiap Isya’, Subuh, Dzuhur dan ‘Ashar. Kalau sholat Magrib mendingan, ada dua shaf jama’ah. Pada dasarnya suara Karmat merdu, jika mengumandangkan azan, tapi Marten biasanya sewot kalau Karmat suatu kali minta untuk azan.

“Ah..., nggak usahlah Mat..., aku takut Ustadz Mazdu’ marah-marah sama aku, aku takut dipecat” kata Marten, “Beliau bilang kalau beliau nggak kuat menggaji dua muazin”.

“Kau jangan prasangka begitu Mar..., aku ini ikhlas wal afiat lho, aku cuma pingin azan saja, nggak butuh duit”.

“Bukan begitu Mat, aku percaya kamu nggak butuh uang, tapi...”

“Ah..., nggak jadi..., aku nggak jadi kok, takut aku jadi riya’. Sudahlah aku sholat sunat dulu..., nanti kau saja yang azan”

“Sorry ya..., Mat, bukan aku nggak boleh, cuman itu...tu, ustaz yang pernah belajar di Mesir, bisanya cuman marahin melulu, habis itu kerjanya promosi ziarah kubur kanjeng Husein, atau ziarah ke tempatnya Imam Syafi’i, di setiap pengajian mingguan, emangnya kuat ziarah sampai Mesir”

“Ah...kamu itu nggunjing orang nggak boleh, lagian apa salahnya sih ngajak orang dalam kebaikan. Kamu itu ..., lihat orang senang nggak boleh, makanya kalau sekolah yang bener biar bisa bikin travel, nggak kayak kamu. Sudah azan dulu sana!”

Marten memang lugu, walaupun pernah jadi bintang film, yang pernah shooting sebagai figuran, Marten cukup bangga. Wajahnya seperti Roy Marten namun jika dilihat lekat-lekat wajahnya lebih condong mirip Presiden Nilson Mandella. Ia suka sekali dijuluki dengan Marten Mandella, karena Nilson Mandella itu orang hebat pernah dipenjara kayak Karmat. Makanya ia kagum juga sama Karmat dan pingin sekali Marten merasakan dipenjara, tapi ia takut sama Polisi. Kemarin ia mencoba maling ayam di peternakan milik orang cina, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika diintip dari belakang ternyata ada Pak Guncil yang jadi Polisi Militer, ia sempat bingung, peternakan ayam ini milik Kopral Guncil atau milik Cik Wan. Akhirnya ia balik dengan tangan hampa.

Pada hari-hari menjelang PEMILU, memang banyak sekali penyelenggaraan demonstrasi, para buruh yang terkekang pada turun jalan, biasanya para mahasiswa yang suka sekali ngutak-atik kesenjangan, sangat rajin unjuk rasa. Kesempatan ini takkan lepas dari perhatian Marten, ia memang melihat kesenjangan tapi tidak bisa membuktikan. Ia mencari peluang untuk ikut unjuk rasa, setiap kali melihat selebaran ia ambil, kalau-kalau ada kabar tentang unjuk rasa.

“Kapan ya... ada demonstrasi...” batin Marten, sambil mencoba jaz dan dasi, dan kepalanya diikat kain yang bertuliskan “Hidupkan Demokrasi”.

Ia pandangi cermin lama-lama.

“Ah... sudah pantas...”

“Karmat..., Demokrasi itu apa sih, kok mahasiswa itu suka teriak : ‘Demokrasi!, Demokrasi, sambil mengepal-ngepalkan tanngannya?” tanya Marten seusai shalat Isya’.

“Menurut cerita yang sering aku pelajari di kampus, Demokrasi itu banyak macamnya, ada demokrasi liberal, demokrasi Terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi Islam, pokoknya banyak. Ya.. berhubung aku jarang masuk kuliah, aku nggak tahu, setahuku dosen yang paling baik adalah Pak Sitompul, direkturku itu."

Mendadak Karmat seperti dapat ilham, “Oh..., begini kalau nggak salah kata Sitompul, demokrasi itu negara terserah rakyat, tapi kalau demokrasi menurut kenyataannya itu negara terserah penguasa,... katanya....itu yang dia lihat lho Mar bukan aku, betul ini”.

“Hus...jangan keras-keras, nanti kamu ditangkap lho, ini menjelang PEMILU, biar aku saja yang bilang nanti, pas kalau ada demonstrasi”

“Ah... terserah... aku nggak mau ikut-ikut, yang penting aku selamet, aku nggak mau neko-neko, kayak nggak tahu aku saja, orang-orang sudah kadung membenciku”

“Termasuk aku?”

“Ah...entahlah...,” Karmat menunduk sendu.

“Lho..., kamu jangan begitu, aku nggak pernah benci sama siapa-siapa, apalagi sama kamu, aku malah sebaliknya, kagum sama kamu, kamu itu pemberani sampai-sampai mau dipenjara, aku pingin lho kayak kamu”.

“Eh! kenapa sih sekarang kamu suka tanya demonstrasi”

“Enggak...ah..., aku...aku... aku pingin kayak Mandella”

“O...oo...” Karmat mengambil sandal dan bergegas pulang ke rumah.

********

“Hidupkan Demokrasi!, Hidup-kan Demokrasi!,” teriak Marten di tengah-tengah lautan para pengunjuk rasa, yel-yel keadilan seperti koor perjuangan, keadilan seperti lautan yang luas dan sukar untuk diterjemahkan.

“Bersihkan korupsi, bersihkan kolusi, hilangkan nepotisme” teriak Marten menirukan orang- orang yang lagi kalap. Lalu ia ikut naik mimbar dan mengambil corong.

“Nyanyi...!,nyanyi...!, suarakan kebenaran...!” teriak massa. Marten tersadar bahwa ia sekarang di gelombang massa, ia nggak tahu apa yang harus diperbuat di saat corong di genggamannya.

“Nyanyi...! Serukan keadilan!”

Keringat Marten bercucuran, apa yang harus diperbuat.

“Eh..., cepat nyanyi atau baca puisi!” bisik seseorang ada disampingnya. Tanpa sadar Marten menyanyikan lagu kesukaannya pada waktu TK:

“Bebek, bebekku, mari kemari, ikutlah aku ke kebun bibi....”

“Hu.....huu..., lari....lari ... ada polisi...lari..., bubar..., ada tentara...., pakai panser,” seru massa.

Semuanya lari tunggang-langgang diantara mereka ada yang selamat, sebagian mereka ada yang apes, sebab kena pentungan petugas, dan digiring ke Posko Kewaspadaan Nasional. Sesampai di Posko mereka mulai diperiksa satu-satu, ada yang dipukuli, ada yang disuruh ngaku, ada yang teriak menangis, ada yang lantang, ada yang diseret di penjara.

Tubuh Marten menggigil ketakutan. Matanya melirik-lirik ingin tahu bentuk penjara, tapi...keringat dingin menguasai rasa ketakutannya. Marten, antara mau cari pengalaman dan juga mau pingsan.

“Hei, siapa namamu?” Tanya polisi.

“M...m...mm...Marten Pak”

“Kuliah di mana...?”

“S..ss..ss..Saya tukang azan, itu pak... di..ddddi Mesjid An Najah...pak..., Pengajiannya.... Ustadz Mazdu’, pak...., benar pak...sssumpah pak, saya nggak salah, saya cuman disuruh nyanyi...., saya nggak tahu...., jangan dipukul pak...ssssakit...”

“Lho! kamu anak buahnya Mas Mazdu’?, kenapa kamu ikut-ikutan demonstrasi, sana pulang sana, memalukan, jangan bilang-bilang kalau kamu saya pulangkan, dan jangan sekali-kali diulangi lagi ikut-ikutan demonstrasi, biar orang gendeng saja yang teriak-teriak” kata seorang anggota ABRI yang ternyata saudaranya ustadz Mazdu’.

“Lho kok pulang..., sssaya pingin dipenjara Pak”

“Kamu itu ada-ada saja, sana pulang, sudah saat waktu ‘Ashar, nanti telat azannya”

“I..iya..., tapi...nanti...balik lagi nggak pak?”

“Oo...nih sedikit buat ongkos naik bis kota, sana pulang nggak usah balik lagi”

“M..mmm...makasih Pak”

***

Sudah seperti biasanya, Karmat beranjak ke mesjid. Dengan memakai peci dan sarung, ia mulai mendendangkan zikir, seirama dengan langkahnya.

“Mat..., tolong kamu saja yang azan, saya pulang dulu” sapa Marten di tengah jalan sambil terengah-engah.

“Dari mana kamu Mar...,”

“Nih kuncinya”

“Lha iya..., masjid kok ya... dikunci..., orang mau ke rumah Tuhan kok dikunci, seharusnya dibuka 24 jam. Aku jadi sedih. Coba bayangkan kalau orang mau sholat malam, masa dikunci. Sini kuncinya! Nggak usah dikancing pintu masjid itu. Biar aku buka saja".

“Ya terserah, asal jangan ketahuan Ustadz Mazdu”.

“Boleh..., boleh...., tapi...” Marten berlalu.

Sembari bertanya-tanya dalam hati, Karmat masuk ke Mesjid, ia kumandangkan azan dengan suara merdu, menggantikan kebiasaan Marten. Ia nggak tahu kenapa Marten tiba-tiba berubah, dulu ngotot megang kuncinya sekarang malah dikasihkan.

“Ah..., biarlah..., itu urusan orang lain” batin Karmat, sambil meneruskan wirid shalawat Nariyahnya. Kini Karmat jadi lebih leluasa ke Mesjid, berlama-lama i’tikaf sambil mendengung kecil wirid-wirid. Bila malam-malam tanpa harus mencari Marten, ia bisa buka pintu sendiri, bahkan ia nggak mau lagi mengunci pintu mesjid itu.

“Masa masjid kok dikunci, wah..., bener-bener pergeseran nilai. Gimana nanti bila ada yang pingin sholat, atau i’tikaf, atau istirahat atau kegiatan yang lain susah...., mengamalkan hadits nabi ‘Rojulun qalbuhu mu'allaqun bil Masjid’ susah..., jadi orang modern susah. Masjid dibangun besar-besar, yang shalat cuman dua tiga orang, emangnya masjid itu kayak gereja yang hanya dikunjungi setiap minggu sekali, dasar "kristenisasi budaya...” omel Karmat dalam hati sambil memandangi masjid sejenak lalu ia tinggalkan untuk istirahat di rumah menunggu subuh.

Matahari pagi menyengat, membuat Karmat gelagapan. Dilihat jam sudah menunjukkan jam enam seperempat.

“Ya...Allah! kenapa aku bangun terlambat”, sesegera mungkin ia mengambil wudlu, tak lupa meraih peci dan menggelar sajadah. Ia menunaikan shalat Subuh di rumah. Seribu penyesalan ia tangisi dengan doa, seribu kekecewaan ia tumpahkan dengan air mata.

“Ya...Allah! kenapa aku laksana terbius seperti ini hingga aku tak tahu lagi ganjaran apa yang akan kuperoleh... Oh Tuhan, my God, Ya Allah... ampuni hambaMu, aku bagai Abu Nawas yang sama sekali tak kuat dengan gelombang siksa neraka, dan kelemahanku inilah yang menjadikan tak patut masuk ke gerbang istana firdaus-Mu. Oh Tuhan, benar... dengan tulus aku mohon ampunan, dosa-dosaku penaka hamburan debu yang terbang hinggapi nafsu... Tuhan... meledak tangisku... membuat kebodohanku muncul..., tiada lagi yang mampu melindungi alam semesta kecuali diriMu".

“Karmat!!!”

“Ya Allah..., kekasihku..., kurajuk diriMu untuk penuhi ampunanku”

“Resi Karmat!!!”

“Ya... Rabbi...dengan keadilanMu, terimalah taubatku”

“Hai...!!! Karmat keluar kau...”

“Ya...Rahman...Ya Rahim..., KasihMu tak terhingga, tujuh samudra... takkan bisa menandingi limpahan sayangMu, hambaMu mohon maaf...”

“Prak...” suara pintu didobrak dan orang-orang mulai masuk ke rumah.

“Ya...Hayyu.. Ya Qayum..., kurayu asma-Mu, agar bisa tentramkan hatiku, diriku hancur kala aku lengah dengan janji-Mu. Masjid itu kayak gereja yang hanya dikunjungi setiap seminggu sekali....."

“Ini malingnya...., ayo kita pukulin..."

Pura-pura berdoa lagi “Ya...Allah telah datang bala-ganjaranMu”

“Bug...!!!, bug...!!!, plak....!!!”

“Alhamdulillah, ternyata Kau dengar suara hambaMu, karena aku lebih takut dengan siksa JahimMu”

“Ayo..., Resi...!, Ayo...Sudra!, ngaku..., mana tape recorder..., mana pengeras suara..., kau sembunyikan di mana kotak amal. Jangan pura-pura diam..., ayo.., hei maling..., mana...” teriak orang-orang sambil menggebuki Karmat.

“Seret dia!! Bawa ke kantor Polisi....”

“Pukuli dulu..., sampai setengah mampus”

“Iya. Pukuli baru serahkan ke Polisi”

“Ya...Allah....” desis Karmat.

“Dia tetap diam..., nggak mau ngaku, kasih bogem dulu...”

“Ya...Allah...Allah..., Ahad..., Ahad...., Ahad....”

Karmat mendesis sambil membayangkan Bilal disiksa oleh Umayah, kesadarannya telah hilang, darah segar mengalir membanjiri seluruh tubuhnya, namun ia seperti terhibur dengan senandung dzikir itu, sampai tidak tahu di mana ia berada....

***

“Karmat..., maafkan Aku...”, seru Marten sembil melelehkan air mata,

“aku menyesal..., dan nggak menyangka sampai dipukuli sekejam itu. Aku kira jalan itu yang dapat mengantar aku ke penjara, tapi aku takut dipukuli hingga aku bilang yang nyolong adalah kamu, lalu mereka melabrak rumahmu, mereka pukuli kamu, dan barang-barang seisi rumahmu”.

“Yang salah aku Marten. Aku telat shalat Subuh” elak Karmat dari balik jeruji.

“Uh… uk.... Bukan, itu salahku... kenapa aku penakut..., walau ingin rasanya aku seperti Mandella yang pernah merasakan penjara, seperti kamu Karmat. Kata orang penjara itu untuk mukmin dan sorga bagi orang kafir” dalih Marten tambah sesenggukan.

“Hus! Emangnya orang yang beriman suka dipenjara..., bagaimana bisa maju, Marten, bagaimana bisa kerja, bagaimana bisa haji...?”

“Tapi orang hebat belajarnya di penjara!”

“Itu Soekarno, Hatta, Mandella..., dipenjara bukan karena nyolong pengeras suara mesjid..”

“Oh..., maafkan aku Karmat...aku nggak tahu, aku mau ngaku biar dipenjara..., disana aku bisa belajar, dan kamu bisa pulang..., aku ingin pinter seperti Mandella. Ya...Marten Mandella...Karmat..., maafkan aku... Karmat”

“Yah..., pingin sekolah gratis..., nyari penjara..., eh..kadang-kadang penjara bisa menelurkan alumnus yang besar dan hebat...” Karmat sejenak menengok kantor Polisi, tak sadar ia geleng-gelengkan kepala melihat gigihnya usaha dan luhurnya cita-cita Marten. Ia tinggalkan penjara setelah tak terbukti kesalahannya, Ia tinggalkan Marten yang kini meringkuk di penjara sesuai dengan pengakuanya.

“Semoga kau cepat pandai dan berani, Marten...!”

***

Malam-malam Karmat mulai bertandang ke Masjid, dingin menyelimuti tubuhnya, sepi..., tak ada orang..., dan Masjid itu terkunci..., tak ada lagi yang ia cari..., Marten yang dulunya setia membukakan pintu kini tak tampak lagi. Ya! masjid itu terkunci, di malam-malam sunyi..... Masjid itu tak akan berfungsi......

(Madinatul Buuts, with Bensarkoun 'n Didik "Karmat" Hariri).

[1] Mutiara hikmah: Jangan menghina orang lain, sebab segala sesuatu mempunyai kelebihan

[2] Orang yang hatinya tergantung di masjid.Description: Masjid Itu Masih Sepi Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Masjid Itu Masih Sepi


Shares News - 08.40
Read More Add your Comment 0 komentar


berapa Lama Kita Dikubur??



Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira di atas jalanan Menyeberangi kawasan lampu merah Karet. Baju merahnya yang kebesaran melambai lambai di tiup angin. Tangan kanannya memegang es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi, sementara tangan kirinya mencengkram ikatan sabuk celana ayahnya.


Yani dan ayahnya memasuki wilayah pemakaman umum Karet, berputar sejenak keDescription: berapa Lama Kita Dikubur?? Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: berapa Lama Kita Dikubur??


Shares News - 08.38
Read More Add your Comment 0 komentar


Dengarkan Bisikan Ibu



Dengarkan bisikanku ibu!
Ibu... kini Engkau jauh dariku..
Ingin kurengkuh dalam pelukanmu
Rengkuhlah aku dalam pangkuanmu


Adalah naluriku sebagai seorang anak, meski sudah tergolong usia dewasa, tergerak perasaan dan pikiran ini, melayang jauh kepada sosok yang pernah akrab dengan dengan kehidupan masa kecilku. Mungkin bagi orang lain tidak pernah akan menjadi masalah. Tapi bukan bagi diriku. Karena itu, air mataku menetes tak terasa, saat kudengar alunan lagu tentang ibu. Sosok yang amat sangat kurindukan keberadaannya. Sosok yang selalu berada dalam ingatan dan ingin kurasakan sentuhan lembut tangannya pada kulitku.

Sudah setahun terakhir ini aku dan temanku memang tinggal di rantau dalam rangka studi. Ada masa-masa dimana aku dan temanku bertemu, berbagai rasa, suka dan duka. Obrolan kami tanpa sadar kembali mengungkit keberadaan peran seorang ibu dalam kehidupan kami. Ada yang sempat membuat aku tertegun, ketika ku dengar sahabatku bercerita tentang kerinduannya pada ibunya di tanah air yang sudah satu tahun ditinggalkannya karena harus menuntut ilmu di negeri Sakura. Kulihat air matanya pun menetes mengingat kerinduan itu.

Dia bercerita tentang betapa mengagumkan ibunya saat beliau membuatkan makanan kesukaannya yang sangat lezat. Kebanggaan itu diperkaya dengan status ibunya sebagai seorang peneliti dengan karir yang sangat cemerlang di salah satu instansi pemerintah. Namun betapapun sibuk ibunya, beliau masih menyempatkan diri untuk selalu memeluk tubuh sahabatku saat dia akan memejamkan mata. Betapapun sibuk ibunya menyiapkan pakaian yang pantas saat sahabatku hendak wisuda di akhir kuliahnya adalah bagian lain yang tidak pernah dia lupakan. Sahabatkupun selalu meminta nasehat ibunya saat dia tengah dirundung masalah. Bagi sahabatku, ibunya adalah sosok wanita yang pantas ditirunya.

Sedangkan bagiku, ibu adalah sosok yang tidak pernah kurasakan kehadirannya. Saat aku kedinginan dan ketakutan, aku hanya mampu berdiam di kamar dan memeluk tubuhku sendirian. Bahkan saat ku terima dua buah undangan khusus yang diberikan universitas saat wisuda istimewaku, aku tidak tahu siapakah yang harus turut merasakan kebahagiaanku saat itu. Aku hanya terdiam saat itu tanpa tahu apa yang hendak kulakukan. Atau saat aku merasa sedih di negeri Sakura inipun, aku tidak tahu harus menceritakannya pada siapa. Lagi–lagi aku hanya bisa menuliskan untaian kalimat yang melukiskan perasaanku di laptopku.

Akupun tidak tahan untuk menahan rasa kerinduan yang teramat dalam atas ibuku. Rasa rindu itu semakin membara terasa saat ku harus menuntut ilmu di negeri Sakura ini. Entah sudah berapa cara yang kucoba tuk menemukan ibuku tercinta. Tapi Allah mungkin belum menakdirkan pertemuan kami berdua.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihan ibuku sebagai seorang hamba Allah, mungkin ibuku bukanlah seorang yang istimewa seperti ibu sahabatku. Beliau hanyalah seorang wanita biasa yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis karena memang tidak pernah mengenyam pendidikan. Beliau adalah seorang wanita yang harus menjalani liku-liku kehidupan dengan begitu kerasnya. Beliau juga harus berjuang mengais rezeki untuk sesuap nasi untuk anaknya dengan jalan meminta uang dari para pemilik kendaraan beroda empat.

Sejak kecil hingga 22 tahun kini, aku hanya bisa menatap teduh wajah ibuku sebanyak tiga kali, yaitu saat aku duduk di taman kanak- kanak. Saat itu ibu masih memakaikan seragam sekolah TK ku dan juga masih menyisir rambutku. Tapi tiba- tiba dengan alasan yang tidak ku mengerti saat itu, ibu meninggalkanku.

Aku menangis sambil memegangi kedua kaki ibuku dan memohon agar tidak meninggalkanku. Tapi ibu menepiskan kedua tanganku dan berlalu meninggalkan diriku yang masih kecil tanpa menoleh lagi ke arahku. Tanpa mengerti apa latar belakang pertengkaran antara ibu dan ayahku, kusadari itulah penyebab utama kepergian beliau.

Setelah kepergian ibu, kakeklah yang memandikan dan memakaikan seragam sekolah juga menyisir rambutku. Sementara ayahku pun juga meninggalkanku sendirian. Beliau memilih menikmati hidupnya dengan seorang istri barunya tanpa berusaha mengerti betapa saat itu aku sangat membutuhkannya. Aku selalu berusaha menemui beliau di ‘istana’ barunya, tapi beliau rupanya lebih mencintai kehidupan barunya dan melupakan sosok mungilku dari masa lalunya.

Ayahku hanya terdiam tak mampu bergerak saat ku menangis meminta kehadiran beliau setiap minggu ke rumah kakekku. Akhirnya hanya sosok kakek dan neneklah yang bersamaku dan mengusap air mataku juga menemani tidurku. Masa kecilku kulalui tanpa mengerti sepenuhnya siapa sosok ibuku. Saat kutanya pada kakek tentang ibu, beliau selalu memintaku untuk senantiasa bersabar dan mendoakan ibuku.

Entah di tahun ke berapa, aku kurang ingat betul tepatnya, suatu hari saat aku pulang dari sekolah, kudapati sosok wanita yang tengah mengendong seorang anak kecil. Wanita itu terlihat kurus dengan pakaian sederhana yang dikenakannya dan tidak kulihat goresan kosmetik sedikitpun di wajahnya. Namun kulit wajahnya masih memancarkan sisa kecantikan masa lalunya. Kulihat tangannya hanya memegang sehelai selendang lusuh yang sebagian dibelitkan ke tubuh mungil di dekapannya.

Tiba- tiba sosok wanita yang terlihat asing di mataku itu memeluk tubuhku. Sebagai anak kecil yang kurang mengerti akan bagaimana harus menyikapi suasana ini, aku cuma tertegun diam tanpa bisa berkata apa-apa. Aku kemudian berlari mendekati kakekku yang segera merengkuhku dalam pelukannya. Saat itu kulihat air mata menetes di wajah kakekku yang segera kuhapus dengan tangan kecilku. Kakek kemudian berkata padaku, "Nak, jangan takut… dialah ibumu yang selama ini selalu kau tanyakan. Ayoo… beri salam dan cium ke dua tangannya agar hidupmu selalu bahagia."

Tapi aku tetap tak mampu menggerakkan tubuhku menghampirinya. Aku hanya tetap terdiam dalam pelukan kakekku seraya memandang wajah sosok wanita itu yang juga tengah memandangku sambil meneteskan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Bahkan saat ibu harus pamit balik ke rumahnya di Ibukota setelah tiga hari lamanya berada bersamaku. Aku tidak sanggup meneteskan air mata. Aku tidak mampu memahami kenapa hal itu terjadi.

Suatu hari, dua minggu setelah Lebaran, ketika memasuki perguruan tinggi di tahun pertama, Ibu datang kembali menemuiku. Saat itu kakekku pun telah tiada dan hanya seorang wanita tua yang tidak kuasa berjalan yang ada bersamaku. Ibu terlihat amat kurus dan masih tetap mengenakan pakaian yang begitu sederhana tanpa polesan lipstik di bibirnya.

Kulihat wajah beliau yang kusam seperti menangung banyak masalah kehidupan. Beliau terlihat lebih tua daripada sebelumnya. Saat itu ibu menangis memelukku sambil memberikan sepasang baju bermotif bunga kecil warna biru muda yang hanya dibungkus dengan plastik putih tipis dan berkata : "Maafkan ibu nak, karena hanya baju ini yang bisa ibu berikan padamu," ucap ibuku sambil berkaca- kaca.

Aku tidak mampu menggerakkan bibirku saat kuterima sepasang baju pemberian ibuku. Aku hanya bisa meneteskan airmata sambil ku usap air mata ibuku. Beliau kemudian bercerita tentang apa yang telah dilakukannya padaku sambil terus memeluk erat tubuh mungilku.

Ya! ibuku ternyata seorang peminta-minta yang membawa kedua adik tiriku yang masih kecil untuk ikutan mengamen hanya untuk sekedar mencukupi kehidupan mereka di ibukota. Saat kutanyakan tentang sosok ayah adik tiriku, Beliau hanya bisa meneteskan air mata sambil mengatakan bahwa laki-laki itu telah meninggalkannya tanpa memberi nafkah sedikitpun dan Ibuku tidak pernah tahu di mana keberadaan laki-laki itu saat ini.

Aku berulang kali memeluk beliau dan mengusap kedua air mata yang menetes di kedua pipi beliau. Semakin merasa hatiku kian teriris pedih saat kuajak beliau untuk menunaikan shalat. Beliau menggeleng sedih dan mengatakan bahwa beliau tidak bisa menunaikan shalat. Aku merasakan suatu goresan pisau tajam tengah menusuk hatiku saat ibu terbata-bata melafalkan beberapa bacaan shalat mengikutiku.

Aku menyadari, hidup ini terkadang memang keras. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga tanpa sosok ibu yang bagi kebanyakan mungkin telah banyak memberikan bahan pelajaran kewanitaan menyongsong kehidupan di masa mendatang. Aku kadang merindukan yang demikian. Entah itu soal jahit menjahit, memasak, arisan, pengajian, hingga dongeng sebelum tidur, dari seorang ibu terhadap anak perempuannya.

Setelah seminggu lamanya di pertemuan kedua kami, ibu kembali pergi meninggalkan diriku lagi meski telah berulang kali kuminta agar ibu tinggal bersamaku dan nenek. Yaa.. saat itu nenek masih belum bisa menerima kehadiran ibuku kembali di tengah kebersamaan kami. Wajah nenek selalu memancarkan ketidaksenangan dan tak henti-hentinya melontarkan perkataan memarahi dan mengusir ibuku. Saat itu sambil menangis ibuku berlari meninggalkan rumahku tanpa sempat memberikan pesan apapun.

Sesudah itu, tak pernah kudengar lagi kabar tentang ibuku. Aku telah berusaha menemukannya dengan menyusuri berbagai gang kecil di daerah terpencil Ibukota sebelum kutinggalkan negeri tercinta, namun hingga detik ini aku tidak pernah menemukan ibuku.

Sementara di negeri Sakura, aku senantiasa bertanya pada hatiku, adakah ibuku masih meminta-minta? Adakah ibuku tengah menggeluti perihnya kehidupan di tengah kemiskinan ini padahal anak perempuannya nun jauh disana jauh lebih baik kondisinya? Ada rasa berdosa yang tidak dapat saya cari penyebabnya dalam diri ini.

Kalau harus mengingat sepotong baju yang pernah diberikan kepadaku waktu itu, rindu pada beliau ini sulit untuk dikemukakan dengan kata-kata. Terkadang aku membayangkan, andai saja aku diberi kesempatan mengenakan Kimono pada tubuh ibuku, sebagai hadiah kecil sang anak terhadap beliau, betapa bahagianya hati ini.

Sementara Jepang dan manusianya sibuk menyongsong majunya teknologi dan pesatnya komunikasi, hanya sepotong doa dan air mata yang kuharapkan bisa mengurangi kerinduan ini pada ibuku.

Yaa Allah.......
Dzat Yang Maha Menguasai segala sesuatu.....
Bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi Engkau duhai Allah
Tuk pertemukan hamba dengan ibu hamba


Duhai Allah......
Di bulan Ramadhan yang suci ini
Kumohon sampaikan rasa kangen hamba kepada ibunda
Kumohon bisikkan ke dalam hati ibunda
Bahwa hamba sangat merindukannya

 Description: Dengarkan Bisikan Ibu Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Dengarkan Bisikan Ibu


Shares News - 08.36
Read More Add your Comment 0 komentar


Impian Sederhana



Mak Sum, veteran wanita zaman VOC, Usianya hampir menyentuh 85 tahun. Lengkung punggungnya adalah sunnatullah ketuaan yang tak terelakkan. Sumirah nama lengkapnya, meski lerlanjur lansia sirat kecantikannya tetap ada --dan karena cantik dia sempat menjadi selir inlander dan di Batavia orang-orang menyebutnya Lonte Belande. Dan kini, nasib mendamparkannya di sebuah Bedeng di kota Kembang sebagai penjual nasi uduk setiap pagi.

Untuk usia seudzur beliau, geraknya terkategori gesit. Aku mulai mengenalnya setahun lalu, saat aku menjadikan komunitas Bedeng ini sebagai bahan penelitianku. Ya Bedeng, begitulah daerah ini disebut. sebuah daerah kumuh yang komunitasnya heterogen secara asal-usul dan pekerjaan tapi homogen dalam srata "kelas akar rumput". Aku dan Mak Sum benar-benar merasa satu hati saat saling mengetahui berasal dari daerah yang sama, Wates, sebuah daerah cantik di Jogja sana. Impiannya adalah bisa pulang kembali ke Wates. Nanti, jika aku pulang dia akan ikut denganku karena segan pergi sendirian. Dibalik sikap sumringahnya tak jarang kulihat sirat kesepian dan kerinduan yang terpatahkan oleh nasib. Hidup sendiri tanpa anak dan sanak keluarga didukung oleh kemiskinan adalah aroma yang kerap menyesakkan dadanya,

"Andai saja Mak punya anak..." Gumamnya, saat musim mudik menjelang --Aku jadi merasa berdosa karena lebaran ini aku tak pulang-- hingga Mak Sum pun harus menunda kepulangannya juga sampai lebaran tahun depan.

***

Menjadi guru sukwan di Bedeng ini hanyalah cara agar aku bisa lebih dekat dengan mereka. Aku mengajari anak-anak dan kaum buta huruf membaca dan mengaji setiap sore. Dan ternyata, semakin aku mengenal mereka aku semakin khawatir pada ketidaktahuan yang mayoritas tentang bertauhid kepada Allah. Atau tentang shaum yang gegap gempitanya hanya tampak di akhir Ramadhan saja. Karena bagi mereka, malam takbiran berarti panen uang zakat. Pada dasarnya mereka mulai bisa menerima keberadaanku, tapi hanya terbatas pada penggabungan huruf-huruf dari A sampai Z atau mencoba merangkai hijaiyah dari Alif hingga Ya. Sindiran pedas akan segera singgah di telingaku jika aku berbicara tentang indahnya hidup beragama atau menyempurnakan ibadah kepada Allah. Dan pernah aku merasa kebingungan dan tersudut diruang putus asa karena itu semua.

"Nak Dyah jangan putus asa!" Hibur Mak Sum saat aku mengeluh padanya. "Orang-orang disini memang kurang pandai bermasyarakat, jadi kalau ngomong asal celetuk aja!" imbuhnya lagi dan aku hanya menanggapinya dengan senyum terpaksa. "Maklumlah, orang-orangnya tidak berpendidikan! Tidak seperti Nak Dyah" tandasnya lagi.

Berpendidikan! Sekejap aku lupa jika ini adalah medah piiihan yang kudefinisikan dengan arti sejati kebahagiaan, berbagi dengan sesama dalam kesederhanaan. Dalam sekejap aku membenarkan kata-kata Riu jika aku terlalu berani mengambil resiko sebuah jalan hidup, Aku terlalu berani untuk berdiri diatas sebuah idealisme yang baginya hanyalah Utopia dan bahkan artificial. Saat itu aku hanya menjawabnya dalam hati, aku dan Riu hanya beda posisi saja, aku tahu mengapa aku harus berani dan dia tidak. Aku punya alasan untuk mengaplikasikan idealisme dan bukan menganggapnya sebagai utopia atau sesuatu yang artificial. Riu bilang, idealismeku sesuram atmosfir sosial negeri ini. Dan kini idealisme itu sedang mengujiku, benarkah aku akan terus memegangnya sebagai sesuatu yang harus diaplikasikan.

Hujan masih begitu deras menghentak genting-genting gang kecil ini. Sesekali kudengar suara gelegar, dari balik jendela kulihat kabut-kabut dingin mulai menebal. Menjadikan hari yang beranjak malam semakin kelabu. Riuh daun-daun beradu dengan pentalan bebatuan es yang menari di lantai porselen.

"Dyah, Dyah! Ada yang cari tuh. Katanya Mak Sum sakit!" aku meloncat dari kursi plastikku mendengar nama Mak Sum disebut. Diluar kulihat tiga abang becak yang sudah menjadi kawan akrabku sedang berdiri pucat dan menggigil kedinginan.

"Mak Sum, Neng! Badannya panas dari tadi ngigau terus'" aku tahu pasti jika di Bedeng tak ada dokter atau mantri, sementara untuk ke rumah sakit jaraknya cukup jauh dan lagi aku tak punya uang lebih sejak tabunganku harus masuk meja registrasi. Terpaksa...

"Inu, Inuyasha! Tolong aku Nu!" teriakku memukul keras pintu kamar Inuyasha.
"Apaan nih?" tanya Inu yang hanya menyembulkan kepalanya gelagapan.
"Mak Sum sakit Nu, ayo tolong dia!"
"Aku belum jadi dokter neng, baru calon!" kilahnya.
"Ayo Nu, cepet" paksaku menarik lengannya "Iya...iya bentar!"

***

Aku dan Inu berjalan memasuki komunitas Bedeng yang pengap. Hingga kami harus meuntasi jalan becek selebar setengah meter. Tak lama kami menurun tangga berbatu yang dikanan kirinya bertumpukan kaleng-kaleng bekas. Kaus kakiku hitam sudah, rasa gatal mulai menjalari sela jemari kakiku. Tiba-tiba, kami mendengar suara ribut tak jauh dari situ...

"Mak Sum hanyut, Mak Sum hanyut di kali!!!" begitu bunyi suara bergemuruh itu.
"Apa! Mak Sum hanyut? Bukannya dia sakit" Tegasku pada orang-orang itu
"lya dia memang sakit dan sekarang hanyut"
"Orang sakit kenapa dibiarkan keluar, kan jadinya jatuh!"
"Mak Sum hanyut sama rumahnya neng bukan karena jatuh"
"Apa?"

Aku melihat bagian dinding rumah Mak Sum yang masih tersisa. Sambungan triplek usang yang ditambal lempengan-lempengan kaleng bekas. Rumah itu tepat di hulu kali seluas dua setengah meter. Gelodak arusnya menenggelamkan apa saja yang sanggup diseretnya seperti juga tubuh sakit Mak Sum.

Lidahku kelu, urat syarafku rasanya putus semua, Dikelopak mataku bergayut sesuatu yang semakin menghangat bendungannya. Titik hujan samaikan airmata yang mengalir di ruas tirus pipiku. Dikepalaku kini bermain siluet tubuh renta yang timbul tenggelam dipermainkan arus air juga sebuah impian sederhana untuk pulang ke Wates bersama-sama.Description: Impian Sederhana Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Impian Sederhana


Shares News - 08.34
Read More Add your Comment 0 komentar


Mimpi Buruk



Matahari bersinar, burung-burung riuh berterbangan, bermandikan cahaya. Pohon jati baru saja membuka matanya keluar dari alam tidurnya. Mimpinya yang panjang buyar begitu saja ketika serombongan burung pipit menabrak daun-daunnya.

Astagfirullah Al-'adzim, ya Allah!" jati terkejut setengah mati.
"Kenapa kamu Jati, mimpi buruk ya?" tanya Kenari dengan hati-hati.
"Iya Nari, aku mimpi buruk, ribuan rayap memakan akar-akarku, dan ulat-ulat bulu yang iiih jijik, mereka melahap daun dan anak-anakku"
"Tenanglah Jati, itukan Cuma mimpi…" bujuk Kenari.
"Emang betul cuma mimpi, tapi baru pertama kali aku bermimpi seburuk ini."

Sambil mengibaskan daun-daunnya yang mulai lusuh, Kenari memamerkan senyum manisnya, tubuh dan dahannya yang mulai berjanggut, kini terhembus angin sisa malam tadi. Lumut hijau yang menempel dikulitnya, menjadi pertanda bahwa dia sudah lama hidup dihutan ini.

"Iiiih sereem" desisnya pelan.

Sementara itu tak jauh dari lereng gunung, dimana Kenari dan Jati berdiri, terlihat puluhan manusia berseragam biru dan kepalanya terbungkus helm berwarna kuning, mereka sedang sibuk menggunduli sebuah bukit diseberang sana. Suara gergaji mesin meraung-raung, mereda suara jeritan induk burung dan anak-anaknya yang turut jatuh bersama tumbangnya pepohonan yang menjadi korban kebiadaban mereka, sementara itu binatang-binatang lainpun turut panik, mereka berhamburan mencari tempat tempat yang aman.

"Babad semuanya jangan ragu-ragu, besok pagi kita harus sudah berada di lereng gunung sebelah sana", perintah seorang diantara mereka dengan angkuhnya.

"Baik pak."

Dan pohon-pohon dibukit itupun habis ditebang manusia-manusia jahanam itu. Tinggal tunggul-tunggul dan kepalan asap dari kobaran api yang melahap kayu kering dan rerumputan disekelilingnya.

***

Malam itu………

Langit tampak mendung dan awanpun terlihat berat bergerak, sesekali kilatpun ikut berkelebat memamerkan cahaya kemarahannya. Sementara itu, Jati dan Kenari bercengkrama, setelah mereka mendengar kabar dari seekor burung Hantu, bahwa bukit sebelah sana, kini telah diobrak-abrik oleh segerombolan manusia hanya dalam satu hari saja.

"Sungguh kejam manusia itu, tak pernah memikirkan makhluk lain, padahal kita kan sama-sama makhluk Tuhan" Jati mengawali perbincangan mereka.

"Begitulah manusia, Jati, beruntung dulu nenek moyang kita menolak tawaran Tuhan untuk menjadi Khalifah dibumi ini, sebab menjadi khalifah itu tugasnya berat sekali."

"Berat apanya Nari, bukankah jadi pemimpin itu enak ?"

"Siapa bilang Jati, setiap pemimpin itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya kelak di persidangan Tuhan. Karena tugas pemimpin itu menjaga apa yang telah diamanahkan Tuhan padanya. Diantaranya, menjaga gunung-gunung, menjaga kita para tumbuhan, sungai, binatang-binatang serta makhluk-makhluk lainnya."

"O…Begitu ya. pantesan banyak saudara kita meninggal dipulau Jawa sana. Tubuh mereka diusung kenegeri lain, bahkan burung pipit, ular dan seranggapun dimusnahkan oleh manusia. Mereka memang kejam. Mereka tidak bisa menjaga amanah Tuhan. Mereka terlalu terobsesi dengan tubuh kita, sehingga lupa, kita pun butuh saudara kita yang lain. Sebetulnya aku rela mati demi menghidupi bangsaku dinusantara ini, hanya aku ingin anak-anakku jangan dulu dibunuh, mereka belum kekar. Dan kalau mereka dibunuh, siapa yang akan meneruskan generasiku ?

"Betul Jati, betul katamu, banyak saudara kita yang punah, akibat keserakahan manusia, mereka hanya mementingkan perut mereka sendiri."

***

Bersama hembusan angin malam, daun-daun jati ikut bergoyang melontarkan irama dzikirnya yang indah tak pernah disadari oleh manusia.

"Hie'eeeng…" Pohon Kenari terbangun dari tidurnya, matanya terbelalak ketika melihat puluhan manusia berpakaian biru memekai helm itu, telah berada disekitarnya. Sebagian dari mereka membawa gergaji mesin dan yang lainnya membawa peralatan berupa seperangkat alat-alat penebangan pohon, keserakahan dan kebiadaban pun terlihat diwajah-wajah mereka.

Melihat tajamnya gergaji dan suaranya yang lebih nyaring dari auman srigala yang lapar, kini Jati dan Kenari hanya diam.

"Hie'eeng" pohon cemara terjungkel, ambruk mencium tanah, disusul randu, dan mahoni. Tidak hanya itu, anak-anak mereka yang baru saja tumbuh beberapa bulanpun turut ditumbang habis.

***

Tak seperti biasanya, angin pagi bertiup kencang, awan bergumul dipuncak gunung, angin barat datang, angin timur muncul, awan selatan dan utara tiba-tiba menjelma menjadi warna kelabu, bertumpuk menjadi satu dan berputar. Tiba-tiba…

"Blaaar.." cahaya api itupun kembali dicambukkan, suara yang menggelegar mengiringnya, dan hujanpun turun dengan begitu derasnya. Hujan yang deras, tak membuat para penebang berhenti. "tanggung" katanya.

Kini giliran Jati tiba, iapun terkejut setengah mati, ketika melihat berseragam biru itu mengelilinginya. Ingin rasanya ia menendang manusia-manusia biadab itu, namun apa dayanya, Tuhan hanya menakdirkan dia untuk diam, dan diam untuk selamanya. Dan akhirnya tubuhnya rubuh terpelanting kejurang yang menganga kesebelah lereng bukit.

Angin semakin bertiup kencang, seluruh pohon dilereng gunung itu meliuk-liuk dan hujan terus mengguyur bumi tak mau berhenti, dan puluhan manusia berseragam itupun akhirnya kewalahan, mereka tak dapat bertahan lama, pohon-pohon mulai tumbang, dahan dan ranting yang lapuk patah terbawa angin dan menimpa manusia-manusia berseragam biru itu.

"Aaaah.. tolooong !!" lengkingan manusia-manusia itu panjang terdengar dari mulut mereka. Dan akhirnya sebagian dari mereka pun terlempar kejurang, setelah sebatang pohon besar menghadang tubuh mereka.

Sementara itu pohon Kenari tak sanggup lagi menahan keroyokan angin badai yang terlihat mendorong tubuhnya dari segala arah, akarnya tak lagi kuat menancap pada tanah, tubuhnya yang hampir lapuk terlalu lemah untuk menahan dentuman angin yang bertubi-tubi menghantamnya, tetapi ia tetap berdzikir sampai akhirnya sebuah pukulan anginpun menyambarnya.

Kini Kenari merasa bahwa dirinya sedang melayang, dan perlahan-lahan mulai terang. Ia melihat tubuhnya terkujur kaku menindih tubuh sang ketua penebang pohon itu. Sesaat kemudian dua cahaya mengangkatnya naik kelangit, semuanya terasa ringan, ringan seperti kapas.Description: Mimpi Buruk Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Mimpi Buruk


Shares News - 08.33
Read More Add your Comment 0 komentar


Menipisnya Ibadahku



Assalamu'alaikum kamarku tersayang. Kembali aku pulang ke tempat kos ini seperti biasa, capek sekali seharian ini aku bekerja, jam 8.00 pagi sampai jam 5 sore. Kapan aktifitas ini akan berubah.

"Ya Allah, capeknya aku hari ini." Kasur empuk itu menggoda sekali, tapi aku harus mandi dan shalat Maghrib.
"Ada BAJAJ BAJURI, lihat TV dulu ah..." Aku pun nonton serial TV yang paling banyak ditonton ini.
"Masya Allah sudah jam 7 kurang seperempat, aku mau mandi ah..."

Aku pergi mandi dan shalat Maghrib jam 7, nggak lama aku dengar suara Adzan Isya', "Ya... Allah pinginnya hati ini berdzikir, tapi males sekali meski di mukena ini sangat enak sekali rasanya seperti Engkau memeluk aku. Tapi setan kamar ini kuat sekali, coba kamu jangan ganggu aku dulu setan. Sudahlah aku baca novel aja dulu sambil nonton TV... Shalat Isya'-nya entar aja.

KUBAH... Sebuah novel yang dipinjami teman sekantor dan sudah seminggu ini aku baca tapi nggak kunjung selesai, berharap malam ini bisa aku selesaikan.

Enaknya berbaring begini badanku rasanya remuk semua, aku sudah nggak tau lagi kapan terakhir aku mengingat Allah tepat waktu, enteng sekali sekarang aku meninggalkan waktu shalat, sejak aku putus sama pacarku, dan dia sekarang sudah menikah dengan orang lain. Atau kapan ya Sekarang ini aku benar-benar sedang tersesat.

"Ya Allah, sayangnya Engkau padaku, sehingga Engkau jauhkan dia dariku, indahnya anugerah kasih sayang cinta ini. Engkau berikan sampai Engkau menjodohkan dia dengan orang lain. Apakah akan bahagia seandainya aku yang berada di sisinya menjadi istrinya. Aku hanya bisa berdo'a semoga semua ini memang yang terbaik untuk kami berdua, semoga istrinya sekarang mencintai dan menyayangi dia sebesar rasa sayang cinta yang Engkau bersitkan di hatiku untuknya.

Ya Allah, lelahnya badan ini, hati ini untuk meniti hidup ini sendiri terus. Kapan Engkau akan memberi aku kepercayaan untuk menjadi istri yang shalehah, berbakti kepada suami yang menyayangi aku, keluarga, dan semua orang disekelilingku. Kapan mimpi itu akan menjadi suatu kenyataan."

Novel ini bikin ngantuk mataku, di TV semua acaranya pada sinetron sih. Sekarang orang-orang TV nggak ada yang kreatif membuat acara TV.

Jam 9.00 malam, cepet banget jam itu berputar, aku belum shalat Isya', nggak apa-apa lah nanti aja shalatnya, lebih baik sekarang aku pejamin mata dulu aja. "Bismillahirahmanirrahim. Bismika Allahumma ahya waa bismika 'amut... Ya Allah, aku titipkan jiwa ragaku pada saat aku tidur, berikanlah aku mimpi baik, jauhkanlah dari mimpi buruk, bangunkanlah aku nanti jam 1 karena aku masih punya kewajiban shalat Isya' sekaligus Tahajjud...".

***

Aduh wekerku bunyi pasti sudah jam 1, tapi masih jauh dari pagi, lima menit lagi deh aku tidur mungkin akan hilangkan kantukku. Ya Allah, jauhkanlah setan tidur ini dari tempat tidur ini dan mata ini. Aku ini yang setan atau memang ada setan di kamar ini. Kenapa berat sekali sekarang aku bangun malem.

Jam 2.30 sudah. Aku bangun dan bergegas ke kamar mandi ambil air wudhu', aku belum shalat Isya'nih. Idih... malesnya dzikir apalagi shalat tahajjud. TV itu kayaknya minta ditonton. Ya sudahlah, aku ada makanan nggak ya di kulkas? Besok aku mau puasa deh, mencoba dari awal menahan hawa nafsu lagi.

Aku yakin ini adalah cobaan dari Allah. Sebulan ini nggak ada yang aku lakukan kecuali kerja, pulang ke kos, nonton TV, menunda shalat tepat waktu, meninggalkan Tahajjud dan Dhuha. Kemana rutin ibadahku aku juga nggak tau. Tiba-tiba sekarang baru sadar rutinitasku telah berubah, cobaan yang ini begitu berat, sulit sekali mengembalikan ibadah rutinku. Dalam do'a aku selalu memohon untuk ditetapkan iman, ihsan, dan Islam. Tapi sekarang aku berada diantara kesesatan.

"Kenapa ya Allah? Apa yang tersembunyi dibawah alam sadarku. Hamba sadar semua ibadah menjadi sia-sia kalau hamba seperti ini terus. Tapi setan di kamar ini begitu kuatnya. Tolong ya Allah, tolong hamba ini. Tipis sekali ibadahku dalam satu bulan ini. Kembalikanlah kembali kepadaku. Kembalikan shalatku, puasaku, amalku, kembalikan padaku. Golongkanlah aku ke dalam golongan orang-orang shaleh dan shalehah yang Engkau ridho'i."

Adzan Shubuh membuyarkan semuanya. Aku harus mandi, shalat dan pergi ke kantor. Aktifitas pagi yang satu ini alhamdulillah belum berubah.

Do'aku tentang kemalasan dan kesesatan di alam setan akan terhapus hari ini. Mundurnya ibadahku, tipisnya ibadahku akan berakhir hari ini. Aku akan memulai pagi ini dengan shalat shubuh tepat waktu, kembali ber-Dhuha dan bekerja untuk beribadah. Dan akan menjalankan rutinitasku sebagai muslimah dengan istiqomah. Semoga setan keluar dari kamar ini, rumah kos ini, dan paling penting dari dalam diri dan hati ini.Description: Menipisnya Ibadahku Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Menipisnya Ibadahku


Shares News - 08.28
Read More Add your Comment 0 komentar


Mencari Istri Sempurna



Hamba mencari istri sempurna. Lelah hati dan jiwa. Hamba mencari kemana-mana, alhasil hamba tak sanggup temukan belahan jiwa itu. Setiap hari hamba berdoa, namun belum juga terkabul. Mungkin inilah perjuangan. Lama-lama hamba mulai menikmati kehidupan ini. Walaupun jemu pernah hinggap dalam kamus kehidupan hamba, meraung-raung dalam sunyi.

Sungguh, di dunia yang maya ini, hamba mencoba menghindar dari gundukan dosa, namun laron-laron dosa itu sesekali berduyun mendekati hamba. Sekuat ruh hamba berlari-berlari menuju cahaya, dan konon, salah satu kendaraan untuk mendekatkan diri dengan cahaya itu adalah mendapatkan seorang istri. Ya, hamba mencari istri sempurna, agar hamba bisa menyempurnakan niat hamba, bercengkrama dengan cahaya sejati.

Hamba bergelut dengan hari-hari, mencari secercah cahaya untuk bisa hamba huni dari kegelapan yang semakin gandrung menyelimuti hati hamba lagi. Hamba akui di setiap arah jam yang bergulir ada terpendam berjuta rahasia yang tak bisa hamba singkap keberadaannya, tak mampu hamba kuliti satu persatu apa gerangan yang diinginkan Allah. Tadinya hamba berpikir bahwa hamba telah mampu meredam satu niatan hamba itu, mengubur riak-riak kehidupan yang hamba bangun dengan pondasi rapuh. Rupanya detak suara jarum jam semakin besar menghentak-hentak dan memekakan telinga hamba, lalu hamba kembali terpuruk, pikiran hamba terhuyung-huyung melangkahkan kaki tak tentu arah.

Suatu hari, hamba bertemu dengan mawar. Di taman itu ia hidup sendiri. Warnanya yang merah merekah membuat mata terkagum-kagum. Ingin rasanya hamba mempersuntingnya, memetik segala hasrat yang mulai basah kuyup dengan segala keinginan.

Sang mawar tak sadar bahwa ada yang mengamatinya. Ya Tuhan harum sekali. Ya, ketika pagi merambat, hamba merasakan keharuman yang luar biasa. Merambat ke seluruh ubun-ubun, keharuman yang menakjubkan. Hamba memberanikan diri untuk menyapanya.

"Selamat pagi, Mawar." Mawar tersenyum, senyum yang menyejukkan.

"Selamat pagi. Ada apakah gerangan, sehingga pagi-pagi begini anda bertamu ke taman yang sepi ini?"

"Hamba berniat mencari istri yang sempurna. Setiap hari tanpa sepengetahuan anda, hamba mengamati anda, lalu tumbuhlah sejumput rasa tertentu yang tak bisa terdefinisi. Anda telah menyampaikan keharuman itu lewat wewangian yang disampaikan angin. Hamba pikir andalah yang hamba cari, belahan jiwa yang sekian lama memikat hamba untuk hidup dalam kembara."

"Betulkah aku yang anda cari? Tak malukah anda menikah dengan bunga sederhana sepertiku? Apa yang membuat anda terkagum? Tak banyak yang bisa aku berikan untuk anda."

"Mawar, sudah lama hamba mencari istri yang sempurna. Mungkin inilah harapan terakhir. Melihat warnamu yang memerah, hamba terkesima. Jika anda mengizinkan, hamba ingin melamar anda. Mari kita arungi bahtera hidup ini."

"Kalau betul itu yang anda inginkan, baiklah. Tunggu barang satu minggu, setelah itu jenguklah aku kembali."

"Terimakasih mawar. Ternyata hamba tak salah pilih. Seminggu lagi hamba akan kesini."

Hamba lantas meninggalkannya sendiri di taman itu. Hamba pergi diiringi senyum yang dramatis. Hati hamba seketika terbang ke langit. Sebentar lagi penantian hamba berakhir, hamba akan mendapatkan istri yang sempurna.

Seminggu berlalu, hamba mendatangi taman itu. Langkah kaki bersijingkat dengan sempurna, cepat dan gemulai. Ketika hamba tiba di tempat itu, tiba-tiba hati hamba melepuh, berterbanganlah harapan yang sempat mewarnai relung hati yang basah dengan tinta penantian. Mawar yang akan hamba persunting, yang akan hamba petik ternyata tak lagi berada di tangkainya. Ia telah luruh ke tanah merah, beserakan tak karuan, tak jelas lagi juntrungannya. Hamba tak habis mengerti, mengapa semua ini harus terjadi? Warna yang tadinya memerah, kini berubah kecoklat-coklatan, menjadi keriput, tak sesegar seperti minggu kemarin. Hamba menghampirinya, duduk termenung seperti seorang bocah yang merengek meminta mainan yang telah rusak. Dengan terbata-bata hamba berusaha menyusun kata-kata, menuai kalimat-kalimat. Namun mulut hamba teramat kelu, tak bisa lagi dengan sporadis menelurkan deretan huruf.

"Selamat pagi. Masihkah ada keinginan untuk menikah dengan ketidaksempurnaanku? Inilah aku, sang mawar yang sempat membuatmu terkagum. Mengapa wajah anda tercengang dan seolah tak memahami hakikat hidup?"

"Mengapa anda menjadi seperti ini? Apakah gerangan yang salah?"

"Tak ada yang patut disalahkan. Ini adalah siklus kehidupan. Hamba hanya bisa bertabah menghadapi takdir yang membelenggu. Ini jalan yang harus hamba jalani."

"Tapi hamba mencari istri yang sempurna, Mawar."

"Jika demikian, aku bukanlah belahan jiwamu."

Hamba beranjak dari tempat itu. Kekecewaan menghantui setiap langkah yang hamba bangun. Air mata menderas. Mawar yang sempat mencengkram jiwa, kini hanya onggokan ketakutan yang tak pernah hamba mimpikan sebelumnya.

***

Kini hamba berjalan lagi menyusuri waktu, mencari istri yang sempurna. Di tengah perjalanan, hamba melihat merpati yang terbang, menari di udara. Sayap-sayapnya ia sombongkan ke seluruh penjuru alam. Sungguh cantik ia, membuat cemburu para petualang. Lagi-lagi terbersit sebuah keinginan. Keinginan klasik: Inilah istri yang sempurna, semoga hamba bisa mendapatkannya. Merpati itu hinggap di ranting pohonan. Hamba memberanikan diri untuk memulai percakapan.

"Wahai merpati, tadi hamba melihatmu bercengkrama dengan angin. Bulu putihmu yang kudus, menjadikan harapan dalam batin kembali tumbuh."

"Apa yang hendak anda inginkan?"

"Hamba mencari istri yang sempurna. Andalah yang hamba cari."

"Betulkah aku yang anda cari?"

"Ya tentu. Hamba ingin anda terbang bersama hamba, membangun sebuah keindahan, mengarungi bahtera kehidupan."

"Jika demikian, silahkan tangkap aku. Apabila anda berhasil menangkap diriku, aku berani menjadi belahan jiwa anda. Aku akan belajar menjadi apa yang anda inginkan."

"Tapi bagaimana mungkin hamba bisa menangkap anda? Anda mempunyai dua sayap yang indah dan memesona, sedangkan hamba hanya manusia yang bisa menerbangkan imajinasi saja, selebihnya hamba adalah pemimpi yang takut dengan kehidupan."

"Segala sesuatu mungkin saja terjadi, asalkan ada maksud yang jelas dan lurus. Lebih baik anda pikirkan kembali niatan anda itu. Betulkah aku pasangan yang anda cari? Maaf, hamba aku bercengkrama dulu dengan angin, sampai jumpa."

Hamba tak bisa berkata banyak, merpati telah terbang bersama angin. Angin, oh...rupanya kekasih sejati merpati adalah angin. Hamba tak mau merusak takdir mereka. Bagaimana kata dunia kalau hamba dengan paksa menikahi sang merpati? Dunia akan mencemooh hamba sebagai manusia paling bodoh yang pernah dilahirkan. Tapi kemanakah lagi hamba harus mencari pasangan jiwa?

***

Itulah kabar hamba dulu. Meniti berbagai penderitaan untuk menyempurnakan segala beban yang melingkar di dasar palung jiwa hamba. Itulah gelagat hamba dulu, seperti seorang pecinta yang berkelana tak jelas arah dan tujuan, menghujani kulit lepuh para bidadari, menjadikan mereka gundah, berenang di atas lautan hampa. Begitu juga hamba. Ya, kabar hamba dulu! Memekik cinta yang bergemuruh, membadai, bercengkrama, meraja, bersengketa, meracau seperti burung kondor yang rindu bangkai-bangkai kematian. Dulu hamba tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Hamba nyaris seperti mayat yang bergentayangan di siang hari, diperbudak angan-angan, bertubi-tubi mulut hamba memukul angin.

Sampai suatu malam, ketika keheningan mengambang di udara, berderinglah sebuah telepon selular yang teronggok di atas sajadah harapan. Kala itu hamba tidur lelap, mencipta mimpi yang samar. Hamba dibangunkan oleh gemuruh suara ring tone. Anehnya, suara selular itu tidak lagi menggelayutkan melodi seperti biasanya. Suaranya aneh tapi nikmat dan menyejukkan. Kalau tidak salah seperti ini: Allahuakbar....Allahuakbar...Allahuakbar... Kontan saja hamba terhenyak dan sempat kaget. Hamba mencoba memicingkan mata yang berat seperti terbebani satu ton serbuk besi. Di dinding kamar hamba melihat detak jam yang mengarah pada nomor tiga. Masih sepertiga malam. Siapa gerangan yang berani mengusik persemayaman indah ini? Lalu hamba mulai merunut kata-kata.

"Halo, siapa anda? Mengapa membangunkan hamba? Biarkan hamba beristirah barang sejenak." Hening, tak ada jawaban. Hamba pikir, ini pasti gelagat orang jahil yang mencoba berimprovisasi. Tapi ketika hamba mau menutup telepon selular, hamba mendengar suara yang menggelegar. Bukan, suara ini bukan dari telepon selular, tapi dari segala penjuru mata angin. Keringat mulai menghujan, ketakutan bersalaman di batin, air mata tak bisa hamba bendung, dan rasa rindu mencengkram hamba dari belakang, rindu yang tak terdefinisi. Mungkinkah doa-doa hamba yang terdahulu akan terkabul? Siapakah gerangan yang bicara? Setelah bermilyar doa berjejalan di udara, hamba harap seuumpt cahaya itu yang bicara Ya, semoga bukan kepalsuan yang bicara. Suara itu makin keras terdengar. Suara itu berkata seperti ini.

"Betulkah kau mencari istri yang sempurna?"

Dengan terbata-bata hamba bilang, "Ya...ya..hamba mencari istri yang sempurna. Mampukah anda mengabulkan keinginan hamba yang belum terwujud ini?"

Suara itu kembali berujar. "Berbaringlah, lalu tutuplah matamu. Bukalah ketika suaraku tak terdengar lagi." Hamba ikuti keinginannya. Hamba tutup mata hamba, dan berbaringlah. Riangnya hati hamba, sebentar lagi hamba akan berjumpa dengan istri sempurna. Jodoh hamba akan hadir. Ah, suara itu hening. Hamba mulai memicingkan mata. Hamba lihat di sekeliling. Mengapa yang terlihat hanya gumpalan-gumpalan tanah yang kecoklatan? Mengapa begitu sejuk? Kemudian hamba melihat pakaian hamba. Putih! Semua serba putih. Bukankah ini kain kafan? Alam barzah, pikir hamba. Lalu hamba melihat sesosok tubuh datang menghampiri, begitu bercahaya, cantik rupawan.

"Siapa anda?"

"Hamba adalah amalan anda. Hamba tercipta dari anda, istri sempurna yang anda ciptakan sendiri. Menikahlah dengan hamba, sambil menunggu semua manusia kembali ke alam sunyi ini."

Begitulah kabar hamba kali ini. Ada lagi yang mau mencari istri sempurna?Description: Mencari Istri Sempurna Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Mencari Istri Sempurna


Shares News - 08.26
Read More Add your Comment 0 komentar


Ada Hikmah di Negri Sakura



“Assalamu’alaikum”, ku dengar salam suami.
“Wa’alaikumussalam”, jawabku tanpa beranjak dari meja setrika. Ah, kebiasaan jelekku di tahun kelima pernikahan. Tampak beda di kala awal-awal nikah dulu. Mendengar motornya pun, sudah berlari ke arah pintu. Mulai krisis rupanya ruhiyahku….

“Dik, sini sebentar”, berkata suamiku sambil menekan power komputer.
“Sebentar, sedikit lagi Mas, tinggal baju Dede yang belum disetrika”. Duh, bertambah lagi dosaku yang tidak segera memenuhi panggilan suami.
“Sini… Sebentar aja, penting nih”.

Kulihat sepintas di layar komputer. Oh, rupanya suami dari warnet. Tampak tampilan e-mail di komputer. Yah, suami biasanya ke warnet, hanya membuka e-mail tanpa membacanya. Kecuali beberapa e-mail penting. E-mail dari temannya dan temanku biasanya hanya di kopi, dan dibaca santai di rumah. Menghemat biaya katanya.

Kumatikan setrika, dan berjalan menghampirinya, setelah mengambil segelas air putih di meja makan. Tampak e-mail dari Prof. Seiko Taniguchi, professor Jepang yang telah tiga tahun ini sering dikontak suami, agar bersedia menjadi supervisornya. Tanpa semangat kubaca e-mail itu. Tertegun. Tak Percaya. Kaget dan entah apalagi, “... See you in Fukuoka.”, itulah kalimat terakhir yang membuat jantungku berdegup kencang. Kutengok ke belakang, ternyata suami sudah tidak di atas kursi lagi, melainkan sedang sujud syukur di tempat yang biasa kami pakai untuk shalat. Ah, rupanya tadi di warnet belum sempat sujud syukur Segera ku susul dia, sujud bersama, dengan rasa penuh syukur. Alhamdulillaah, akhirnya keinginan kita untuk melanjutkan sekolah di Negeri Sakura terpenuhi juga. Air mata berlinang, meluapkan rasa gembira yang tak terkira. Alhamdulillaah, syukurku tak henti-hentinya.

Dua bulan setelah pengumuman itu, berpamitan dengan tetangga, teman dan saudara, akhirnya kutinggalkan tanah air demi sebuah tujuan dan harapan yang kami bangun semenjak ada cita-cita melanjutkan sekolah di luar negeri.

Kupandangi sesaat, sebelum kutinggalkan rumah sangat sederhana, tipe 21, luas 75m persegi yang belum selesai dibangun. Tersenyum, mengingat kata anak tetangga, “Masak rumah seperti ini mau ditempati to, wong belum jadi kok”, bahasa Indonesia medok Jawa khas Semarang. “Ah, insya Allah nanti kan berubah…”, ups! Tak kulanjutkan khayalanku. Astaghfirullaah.

***

Jepang, akhirnya kita sekeluarga bisa berkumpul di negeri ini. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setelah melihat kondisi dan keadaan di Jepang, ternyata tak semua cita-cita dan impianku terlaksana. Impian ingin melanjutkan sekolah lagi, kandas di jalan. Mengingat susahnya mencari beasiswa di sini. Sekolah dengan biaya sendiri, rasanya tidak mungkin. Akhirnya, ku semangat belajar nihonggo, aku ingin menguasai bahasanya. Namun, itu pun hanya semangat sesaat yang tak mampu kupertahankan, melihat sangat susahnya nihonggo, kursus yang hanya setengah-setengah, karena memang hanya kursus gratisan, dan bila ingin kursus yang benar-benar kursus, biaya juga tak terjangkau, akhirnya aku pun menyerah juga. Aku bukan tipe orang yang bisa belajar sendiri.

Terkadang terbersit keinginan untuk bekerja, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Kendala bahasa menjadi hambatan utama. Kalau dihitung-hitung pun jatuhnya tak seberapa, kebijakan-kebijakan Jepang di sini. Semakin besar pendapatan, pajak yang dikenakan juga semakin tinggi, baik itu asuransi kesehatan, biaya sekolah anak, sewa rumah, akhirnya uang yang tersisa tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Sedangkan bila aku tak bekerja, suami yang gakusei di hitung zero penghasilan, dan hampir semua kebutuhan hidup di subsidi, mulai sekolah anak gratis, sewa rumah murah serta asuransi kesehatan murah.

Tidak hanya aku yang ingin bekerja, ibu pun sempat berpesan, supaya memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama di Jepang, baik sekolah ataupun bekerja, dan hampir semua saudara-saudara mempunyai harapan yang sama.

Aku teringat Bu De, ketika menghaturkan sebuah amplop putih saat Pak De meninggal, “An, kamu sudah kerja?”, katanya serasa tidak enak menerima uang bukan hasil keringatku sendiri.

“Duh, Bu De, uangku dan uang suami kan sama saja...”, pikirku tanpa berani mengatakan langsung. Hanya jawaban, “Belum Bu De, nyuwun pangestunipun kemawon”, jawabku dengan mata memerah.

Teringat lagi aku, saat-saat kuliah dulu. Jarak yang begitu jauh, menyebabkan aku pulang setengah tahun sekali, saat libur semester. Tiap kali main ke sana, selalu pulangnya diambilkan uang dari stagennya, sambil memelukku beliau bilang, “An, jangan dilihat besarnya ini hanya tondo tresno ya...” Aku pun terharu menerimanya. Yach, apalah artinya uang seribu dua ribu di tahun 1998-an, setelah krisis. Mungkin hanya sebungkus nasi rames di warung dekat kostku.

***

“BUZZZ!”, terdengar dari komputer ada yang memanggil.

Ah, rupanya temanku di nun jauh di pulau sana di Jepang ini. Teman yang hanya bertemu di dunia maya, namun begitu dekat di hati ini. Alhamdulillaah, atas rahmat Allah dengan kemajuan teknologi di Jepang ini, membuatku memiliki banyak sahabat yang bisa saling menasihati, menghibur dan bercanda. Dan mengalirlah serangkaian nasihat yang menyejukkan hati ini.

Sambil berchatting ria, aku baca milis muslimah di Jepang ini. Milis yang penuh hikmah, pengetahuan dan ukhuwwah. Walaupun selama ini hanya menjadi peserta pasif, rasanya tidak pede menuangkan tulisan dalam milis ini, mengingat kemampuan yang tak seberapa. Senang dengan obrolan, sharing yang kubaca. Berbunga hati ini bila ada yang menyapa. Dan iri hati ini melihat muslimah lain yang bisa begitu aktif menulis.

Selesai chatting dan puas membaca e-mail yang masuk, aku search di Google mencari resep masakan. Yap! Ini menarik, dadar gulung coklat isi vla. Dadar gulung asli, isi enten-enten justru menguras kantong, mengingat harga kelapa parut di sini lumayan mahal. Teringat aku di Indonesia, wuah…mana pernah aku bikin penganan untuk keluarga. Tinggal ke warung dan beli jadi. Paling-paling bikin pisang goreng saja. Hampir setahun di sini, kuingat-ingat kue yang telah berhasil aku buat, soes, ponds cake, cake pisang, pudding caramel, klepon juga risoles serta sosis solo dan makanan yang sangat tradisional sekali, timus ubi jalar, bahkan menjadi resep andalan bila ada matsuri. Ah, di sini aku jadi penjual timus, hehehe… Tersenyum aku mengingat semua itu.

***

“KRINGG!”, terdengar telepon berbunyi.

Temanku mengajak rapat TPA dilanjutkan belajar bahasa Arab bersama orang Mesir. Alhamdulillaah, di negara yang tidak beragama ini aku justru ada semangat untuk mengkaji Islam lebih jauh. Di Indonesia, guru bahasa Arab berlimpah, waktu pun banyak. Namun tak pernah terpikirkan untuk belajar bahasa Arab secara serius. Alhamdulillaah...

TPA... Mana pernah terpikir olehku untuk mengajar TPA di komplek rumahku. Ada satu dua orang anak yang terpaksa ikut TPA RT lain, yang jaraknya agak jauh dari rumah. Dan tak pernah sedikit pun terpikir untuk membantu, atau sekedar menyumbangkan tenaga. Ah, makanya aku sempat malu, namun juga bersyukur, keluarga yang sekarang menempati rumahku, merintis sebuah TPA khusus untuk RT rumahku. Dan berupaya mendirikan sebuah mushalla di depan rumah kami, yang kebetulan masih tanah kosong. Alhamdulillaah, semoga bila saatnya pulang nanti, lingkungan rumahku sudah agamis. Ah, dasar maunya enak sendiri. Kenapa dulu tak pernah berusaha untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk anak-anak.

***

Alhamdulillaah, walaupun tidak bisa memenuhi harapan ibuku dan juga harapanku sendiri untuk sekolah ataupun bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyak, namun banyak sekali hikmah di negeri Sakura ini. Dan itu semua tidak bisa dinilai dengan barang ataupun uang sebesar apapun.

Yah, inilah yang nanti akan kuceritakan kepada semua keluarga, bila saat pulang nanti disambut dengan pertanyaan, “Kamu di Jepang ngapain aja?...” Seperti juga beberapa saudara yang selalu menanyakan kegiatanku disela-sela obrolan saat telepon atau e-mail. Ah...Description: Ada Hikmah di Negri Sakura Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Ada Hikmah di Negri Sakura


Shares News - 08.25
Read More Add your Comment 0 komentar