Mencabut Rumput
Halaman gondrong. Itulah kesan saya setiap kali memandang ke teras depan. Harapan untuk punya waktu cukup untuk merapikan pekarangan selalu saja pupus ditelan segudang rutinitas harian yang tidak kunjung berakhir.
Pagi ini, saya terbangun, menatap jam dinding: pukul lima subuh. Lamat-lamat terdengar seorang laki-laki melantunkan ayat-ayat suci. Sang bayi mungil masih lelap dalam tidurnya. Sambil menatap langit-langit kamar, ingatan melayang ke istilah yang populer di mailing list alumni SMU saya: Thank's God, It's Friday.
Dulu, saya suka tertawa membaca judul email seperti itu. Kesan pertama adalah ungkapan frustrasi. Penuh penderitaan menjalani lima hari kerja senin sampai jumat. Kenapa tidak bisa dinikmati saja semua aktivitas harian, sehingga semua hari terasa indah? Begitu sok tahunya saya waktu itu, mentang-mentang tidak biasa dikejar deadline yang ada konsekuensi nyata dan kerasnya bila tidak ditepati.
Saya ibu rumah tangga. Tak pernah jadi mahasiswi ataupun karyawati. Praktis, kantor saya di rumah. Dan hampir bisa dikatakan, saya adalah bosnya, di mana manajer adalah suami. Pada dasarnya, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga juga punya deadline dan konsekuensi. Hanya saja, tak begitu nyata terasa eksistensinya. Taruhlah misalnya, deadline untuk selesai menyiapkan sarapan dan bekal sekolah adalah pukul tujuh pagi.
Kalau itu dilanggar, konsekuensinya adalah anak terburu-buru berangkat dan bisa ada yang kelupaan. Kalau itu barang yang penting sekali, saya mesti pergi mengantarkannya ke sekolah, tentu saja sambil menggendong Si Bungsu dan menggandeng Si Tengah. Konsekuensi yang masih bisa saya toleri.
Bagaimana kalau jadinya malas masak? Makan yang instan-instan saja? Konsekuensinya, anak dan suami gampang sakit. Jalan keluarnya, ke dokter. Kalau terlalu sering, kelak baru menyesal anak tumbuh kurang gizi dan terhambat kecerdasannya. Prestasi suami di kantor bisa menurun. Konsekuensi yang cukup lama rentang waktunya, sehingga bisa melalaikan.
Bayangkan kalau deadline yang terikat dengan professor, misalnya bagi seorang mahasiswa. Atau deadline yang dipantau supervisor bagi para karyawan-karyawati. Tentunya mereka tidak punya banyak pilihan membuat urut-urutan aktivitas harian. Wajar saja, kalau dari mereka lahir istilah yang mengungkapkan suka cita akan datangnya akhir pekan.
Namun, akhir-akhir ini saya mulai ikut bergumam di Jumat pagi, Thank's God, It's Friday. Karena ternyata, keinginan menggebu-gebu untuk bisa rutin belajar, membuat saya menanti-nanti akhir pekan. Di mana saya bisa menikmati subuh lebih lama, sampai anak-anak bangun, tanpa perlu dikejar deadline membuat bekal. Bisa dibantu suami pergi belanja atau mengasuh anak.
Cahaya lembayung pagi Sabtu ini memang saya sambut dengan suka cita. Setelah kemarin pagi latah bergumam, "Thank's God, It's Friday." Saya menghabiskan waktu subuh, jam lima sampai jam tujuh, merapikan pekarangan. Rumput-rumput liar dicabut. Ketika tangan jari-jari mulai sakit karena terlalu banyak bergesekan dengan tanah dan batang rumput, saya mulai malas bersusah payah. Ambil clurit, lalu babat.
Tiba-tiba saja datang pikiran, apa gunanya membabat bagian atasnya saja, sedangkan akar dan tunasnya masih banyak di tanah. Sebentar saja, mereka pasti tumbuh lagi. Memang sih cepat sekali pekarangan jadi bersih, tapi... tetap saja ada perasaan tidak nyaman. Mencari akar rumput, apalagi yang jenisnya tumbuhan menjalar, memang butuh waktu cukup lama dibandingkan membabat. Tapi ada perasaan nikmat dan puas ketika yakin bukan cabang yang tercabut, melainkan akarnya.
Pikiran saya malah melayang ke cara menyelesaikan suatu masalah. Seringkali begitu, kita malas bersusah-susah menggali sampai ke akar masalah. Bahkan seringkali kita asyik memangkas persoalan di bagian tepi-tepinya saja. Hasilnya, masalah itu tetap tumbuh, lalu babat, tumbuh lagi. Akhirnya waktu kita habis berputar-putar dalam masalah yang sama tanpa ada penyelesaian yang memuaskan.
Saya jadi sangat tertarik dengan fenomena pencabutan rumput ini, lalu coba ingat-ingat lagi uraian yang banyak diterangkan dalam buku-buku pemberdayaan diri. Salah satunya yang paling berbekas adalah 7 Kebiasaan Orang yang Sangat Efektif (Stephen R. Covey). Salah satu kebiasaan itu adalah "Memulai dengan Akhir Dalam Pikiran."
Betul, kalau kita mengerjakan sesuatu tidak dimulai dengan akhir dalam pikiran, tujuan akhir dari proyek yang sedang kita kerjakan, hampir mustahil kita bisa mengetahui apakah kita bergerak maju atau mundur.
Saya ingin pekarangan saya bersih, dan saya tidak punya waktu untuk sering-sering menyiangi rumput. Itu akhir dari proyek saya terkait dengan pekarangan rumah. Untuk itu, saya tidak boleh membabat, tapi mesti mencabut sampai akarnya. Membabat hanya menyelesaikan masalah sejenak. Dua tiga hari, rumput itu akan tumbuh lagi.
Dalam kehidupan sehari-hari, adakah kita sudah bisa merumuskan akhir dalam pikiran, sebelum mulai bekerja? Sebagai muslim, apakah the big final goal yang ingin kita raih dalam menjalani keseluruhan hari, minggu, bulan, tahun, kehidupan kita? Adakah tujuan akhir itu selalu terpatri dalam hati, sehingga kita bisa memastikan, setiap langkah kehidupan yang dijalani semakin mendekati tujuan itu, atau malah semakin menjauh?
Backlink here.. Description: Mencabut Rumput Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Mencabut Rumput
Share your views...
0 Respones to "Mencabut Rumput"
Posting Komentar